Adzan
Maghrib sudah berkumandang, tapi aku masih sibuk dengan selembar kertas yang
ada di tangan. Seolah aku tak menghiraukannya. Ratusan orang berjajar di depan
dan belakangku memadati setiap lorong sempit yang penuh asap rokok. Hampir setengah
jam sudah, aku berdesak-desakan mengantri menu berbuka puasa di deck empat. Ini adalah hari kedua puasa
ramadhan dan aku masih berada di atas kapal.
Mayoritas di deck yang aku tempati adalah penumpang tujuan Sorong, Nabire, dan
sekitarnya. Mereka juga berasal dari berbagai macam daerah. Meski begitu mereka
tetap menikmati perjalanan layaknya bersama keluarga termasuk aku. Selama di
kapal, kami saling membantu dan menghibur. Bahkan sesekali satu diantara mereka
sudi untuk mengajakku berkeliling kapal. Maklum, ini adalah kali pertamaku
melakukan perjalanan dengan kapal.
Suara
dari sebuah speaker tiba-tiba menghentikan
kesibukan kami. Seorang petugas information
center menginformasikan bahwa satu jam lagi kapal segera tiba di Pelabuhan
Sorong. Aku pun menelan mentah sisa makanan dan bergegas menyiapkan barang
bawaanku. Tak banyak yang ku bawa hanya sebuah ransel dan koper serta hoodie bag berisi scrapbook hasil karyaku sendiri.
Beberapa menit berselang, blast terdengar sekali. Itu menandakan
bahwa kapal segera bersandar. Rasanya aku sudah tak sabar ingin segera turun.
Aku pun bergegas meninggalkan deck
menuju pintu keluar.
Perlahan aku mulai menuruni satu per
satu anak tangga kapal. Ini pertama kalinya, aku menginjakkan kaki dikota yang
konon disebut-sebut sebagai Kota Minyak. Yang sampai sekarang pun masih terasa
bagai mimpi.
“Susi!”
Seseorang memanggilku dari kejauhan.
Kucoba
mencari sumber suara itu. Kulihat seorang lelaki berkaos hitam, berjambang, dan
berambut ikal berdiri sekitar 6 meter di hadapanku sembari melambaikan
tangannya. Perlahan orang itu mulai menghampiriku. Semakin dia mendekat rasanya
semakin sesak dadaku. Hingga akhirnya sebuah pelukan darinya melegakanku. Air
mata kami pun saling beradu seolah rindu yang bertahun lamanya terbayar begitu
saja.
“Oby,
Susi sangat rindu.”Bisikku sembari memeluk erat lelaki itu yang sudah bertahun
lamanya tak kutemui. Banyak harapan dan impian yang aku bawa dalam pertemuan
kami kali ini termasuk keseriusan rencana Oby dan keluarganya untuk meminangku.
“Ayo,
kita pulang. Mobil Oby di sana.” Kata Oby sembari mengangkat koper.
Seperti
biasa dia tak lupa menyematkan jemarinya disela jemariku. Bahagia yang mendalam
tak bisa lagi dielakkan oleh sanubariku. Semua terasa seperti dulu saat kami
masih berada di kota tempat kami menimba ilmu.
Sepanjang
perjalanan, kami asik berbincang. Oby juga sangat antusias untuk mendengarkan
pengalaman pertamaku berlayar. Hingga tak terasa jam di ponselku sudah
menunjukan pukul 22.00 WIT. Perjalanan kami pun terhenti di sebuah halaman
rumah.
“Ini
rumah Oby. Nanti Susi bisa tidur di kamar ayah. Besok siang Oby bawa Susi jumpa
ayah dan ibu. Ok?” Jelasnya sambil menunjuk rumah di sebelah kiriku. Rumah itu
nampak sepi dan tak berpenghuni. Ayah ibu Oby memang lama tidak tinggal di sini.
Mereka tinggal di kabupaten lain yang jaraknya sekitar 85 km dan harus ditempuh
menggunakan feri.
Teriknya
matahari siang ini tak menyurutkan semangatku untuk sampai kesebuah feri yang
bertuliskan KM Belibis. Seperti biasanya KM Belibis melayani penyeberangan
pukul 14.00 WIT. Penyeberangan terakhir untuk hari ini.
Satu
jam telah berlalu, kami pun sampai di kabupaten tempat orang tua Oby tinggal. Senang
rasanya sebab sebentar lagi aku berjumpa kembali dengan orang tuanya.
Sebenarnya, pernah sekali aku berjumpa dengan mereka, tapi itu 2 tahun lalu di
hari wisuda Oby. Mereka juga sempat datang ke rumah bertemu dengan keluargaku
dan membicarakan rencana mereka untuk memingangku. Sejak itulah hubungan kami
sangat rapat terlebih aku dengan Ibunya.
“Ibu.
Ibu.” Panggil Oby pada ibunya sembari menelusuri setiap ruang di rumahnya. Tak
lama kemudian keluarlah Oby bersama seorang wanita yang 35 tahun lebih tua
darinya.
“Selamat
siang, Ibu.” Sapaku sembari menghampiri wanita itu untuk berjabat tangan.
Tiba-tiba
wanita itu memelukku dengan eratnya dan berkata, “Oh sayang, ibu khawatir
sekali waktu dengar Susi sudah di jalan mau ke sini. Susi sehat?” Lagi-lagi aku
hanyut dalam suasana bahagaia yang hanya terungkapkan dengan air mata. Wanita
itu adalah Ibu Oby.
“Susi
sehat ibu. Ibu bagaimana kabar? Oh iya ayah kemana?” Kataku sembari menyeka air
mataku.
“Oh
ayah lagi keluar. Sebentar lagi pulang.”Jelas Ibu.
Tak
lama berselang seorang lelaki berkacamata membuka pintu dengan mengucapkan salam.
“Selamat
siang.” Ucapnya sembari melihat ke arah tempat duduk kami.
“Selamat
siang ayah.” Aku pun menjawab salamnya sembari menghampirinya. Dia adalah ayah
Oby.
Kami
pun melanjutkan kembali perbincangan kami sebelum akhirnya pergi ke rumah yang
akan aku tinggali. Ayah telah menyiapkan rumah di komplek sebelah untukku. Ayah
tak ingin aku dan keluarganya menjadi buah bibir orang sekitar sebab tinggal
seatap sebelum menikah. Aku pun menyadari bahwa aku tengah bermalam di bawah
nyiur pinang orang, maka kata orang dituruti. Aku harus tetap mengikuti
adat-istiadat yang ada di sini.
Sejak
awal aku datang, silih berganti keluarga besar Oby berkunjung ke rumah. Mereka
menyambutku dengan hangat dan menerimaku sebagai bagian dari keluarganya.
Keseharianku pun selalu kuhabiskan bersama ayah dan ibu di rumah sembari menunggu
Oby pulang kerja. Aku merasa nyaman berada di tengah-tengah mereka. Bahkan
kenyamanan ini nyaris membuatku tak ingin kembali ke tanah kelahiran.
Hari
ini tidak seperti biasanya Oby pulang terlambat. Tak ada kabar apa pun dari
dia. Aku yang sedari tadi menunggunya di rumah juga mulai bosan.
“Permisi
ayah, boleh susi pinjam motor ayah sebentar? Susi mau ke ATM di ujung jalan
sekalian beli takjil.” Pintaku pada ayah yang sedari tadi duduk bersamaku di
serambi rumah.
Aku
memang sudah cukup menguasai jalan di kota ini setelah beberapa hari yang lalu Oby mengajaku berkeliling. Bahkan sudah
menjadi kebiasaanku menikmati senja seorang diri di pantai yang berada tak jauh
dari rumahnya.
“Boleh.
Itu kuncinya. Jangan lupa pakai helm.”Jawab ayah sembari menunjuk kunci yang
tergeletak di atas meja.
“Terimakasih,
Ayah.” Sahutku.
Di
tengah perjalanan, ku lihat seorang perempuan tengah membonceng lelaki dengan
sepeda motor sembari memeluk erat dari belakang. Mereka nampak sangat menikmati
perjalannya itu. Saat motorku berada
tepat di samping motornya, lelaki itu pun menoleh ke arahku dan menyebut namaku
dengan lirih. Aku hanya tersenyum kecut dan segera enyah dari hadapan mereka.
Aku segera pulang dan mengembalikan motor ayah.
Sebelumnya
aku memang sempat mendengar kabar kedekatan hubungan Oby dengan seorang
perempuan. Oby pun pernah menjelaskan bahwa mereka hanya sebatas teman. Oby
hanya ingin menjaganya sebab dia tengah menjalani perawatan. Singkat cerita oby
pernah bercerita tentang Costantine perempuan yang diboncengnya tadi termasuk mengenai
penyakitnya yang membuat Costantine dikucilkan oleh keluarganya sendiri.
“Susi,
Oby bisa jelaskan semuanya. Yang Susi lihat tadi tidak seperti yang Susi
pikirkan.” Kata Oby yang coba menahanku.
“Susi
paham kalau perempuan itu sakit. Tapi, haruskah seperti itu ditempat umum? Satu
lagi tolong hapus lipstik di bibirmu jangan sampai ayah dan ibu tau. Entah apa
yang kalian sudah lakukan.” Sahutku dengan penuh amarah yang harus ku tahan. Aku
pun segera pergi meninggalkanya. Aku tak ingin ayah dan ibunya tahu perdebatan
kami.
Kecewaku
makin bertambah ketika orang yang tak kukenal mengirimkan sebuah gambar melalui
akun whatsappku. Pada gambar itu, kulihat
Oby dengan Costantine tengah berada di sebuah kamar. Gambar yang tak pantas
untuk disebar luaskan menurutku. Aku sendiri malu dan jijik melihatnya.
Sejak
saat itu aku jarang berjumpa Oby. Jangankan datang ke rumahnya mengangkat
telefonnya saja aku enggan. Aku tak ingin membicarakan apapun lagi dengannya
termasuk gambar itu. Hatiku telah hancur.
Semilir
angin Pantai WTC sore ini masih memainkan rambut panjangku. Kicauan burung dan
deburan ombak pun senantiasa menenangkan hati tatkala aku teringat kejadian
beberapa waktu lalu. Tiba-tiba seorang perempuan berambut kriting dan berkulit
gelap menghampiriku. Kehadirannya memperkeruh suasana batinku.
“Mbak
Susi.” Sapa Costantine padaku.
“Ada
apa?” Tanyaku singkat.
Ingin
sekali kulapiaskan kemarahanku kepadanya, tapi tak mungkin. Aku hanyalah
seorang pendatang. Tak elok jika aku membuat keributan terlebih hanya perkara lelaki.
“Aku
tau Mbak Susi marah sama aku dan Oby. Aku minta maaf, Mbak. Aku tahu aku salah,
tapi aku nyaman sama dia. Oby juga.” Jelas Costantine yang membuatku semakin
geram.
“Sejauh
apa hubungan kalian?” Tanyaku sambil menunjukan gambar yang kudapat beberapa
hari lalu.
“Selama ini aku tau kamu sakit, Oby coba
jagain kamu dan aku izinkan. Tapi bukan berarti aku izinkan kalian berkhianat
di belakang aku. Kamu tahu tujuan aku jauh-jauh kesini buat apa? Buat buktiin
ke dia dan keluarganya kalau aku sayangkan dia.” Lanjutku dengan emosi yang
mulai pecah.
“Aku
tahu mbak. Aku paham. Oby selalu cerita ke aku tentang Mbak. Dia juga sayang
Mbak Susi. Tapi dia juga berjanji akan menikahiku karena dia pikir tak mungkin
Mbak Susi akan berani datang ke sini untuk buktikan sayang Mbak ke Oby.”
Costantine pun terus mencoba menjelaskan apa yang terjadi selama ini antara dia
dan Oby.
“Kamu
mau nikah dengan diakan? Nikahlah!” Marahku pun makin memuncak.
“Tidak,
Mbak. Orang tua Oby tak pernah restui hubungan kami karena aku sakit. Oby
pernah meminta orang tuanya untuk meminangku tapi menolaknya.” Jawab Costantine
dengan lirih. Mendengar penjelasannya, aku pun semakin kecewa. Ternyata selama
ini orang tua Oby telah mengetahui hubungan mereka dan menyembunyikannnya
dariku.
Pagi
ini ku beranikan diri untuk datang ke rumah Oby menemui ibunya. Besar harapan,
aku tak berjumpa dengan Oby. Saat kulangkahkan kakiku ke halaman rumahnya
nampak ibu sedang sibuk dengan setumpuk piring kotornya. Ibu pun menyadari
kedatanganku dan mempersilakanku duduk di kursi yang tak jauh dari tempatnya
mencuci piring.
“Susi,
Su lama tidak kesini?” Tanya ibu
sambil menyelesaikan pekerjaannya.
“Maaf
Ibu. Susi ada jalan-jalan di sekitar kota jadi baru sempat ke sini.” Jawabku
sedikit gugup. Ini adalah kali pertama aku berbohong padanya.
“Pantas
Oby sering terlambat pulang. Ada bajalan
deng Susi rupanya.” Kata Ibu sambil menyunggingkan
senyum manisnya. Aku pun hanya meresponnya dengan senyuman.
“Ibu,
Susi boleh bertanya sesuatu?” Tanyaku dengan penuh rasa takut.
“Oh
iyo. Mo tanya apa Susi?” Kata ibu
sembari menuju kursi yang ada di sebelahku.
“Ibu
tahu hubungan Oby dan Costantine?” Tanyaku to
the point pada ibu.
“Susi
ada tahu sesuatukah?” Jawab ibu yang saat itu nampak kaget.
“Kemarin
kami bertemu di pantai.” Belum sempat kuceritakan perjumpaanku dengan
Costantine ibu langsung memotong pembicaraanku.
“Ibu
sudah larang dia bertemu Oby atau pun kau Susi. Sekarang justru kau bertemu
dia. Entah apa yang akan terjadi setelah ini.” Kata ibu dengan sangat marah.
“Tapi
kenapa ibu?”Tanyaku sedikit agak memaksa.
“Ibu
dan ayah tidak suka dengan dia. Kami cuma maunya Oby sama Susi. Susi, perempuan
itu ada sakit. Sakitnya itu karena sering gonta-ganti lelaki. Itu orang satu
kota ini tahu. Dia tidak baik, Susi. Dulu, Oby kepergok lagi di kamar berdua
dengan perempuan itu. Oby dituntut buat nikahi. Kitanya tetap tidak mau.
Akhirnya kita pilih bayar denda. Ibu tak pernah ceritakan ini ke susi karna ibu
takut susi pergi kalau tau. Ibu cuma mau Susi saja.” Jelas ibu dengan mata yang
berkaca-kaca.
Bagaikan
disambar petir waktu kudengar penjelasan ibu. Aku hanya bisa diam dan
meneteskan air mata kekecewaanku. Bertahun lamanya aku menunggu Oby dan
keluarga yang berjanji segera datang meminangku. Selama itu pula aku mencoba
setia kepada cinta yang terpisahkan oleh jarak. Aku pergi dari sebrang nan jauh
disana dengan penuh harapan dan mimpi untuk memetik bunga kasihku bersama Oby.
Namun sebuah pengkhianatan telah menghancurkan harapanku. Mimpiku untuk segera
mendapat pinangan pun lebur bersama dengan setiap kenyataan pahit yang kudapat.
Oby dan keluarganya telah merusak kepercayaanku. Bagai menanti orang dahulu,
mengejar orang kemudian. Itilah nasib pengorbanan cintaku selama 5 tahun ini.
Ku
tinggalkan sebuah memo di atas tempat tidur Oby. Berharap dia membacanya
sepulang kerja.
Dear Oby,
Kamu ingat rembulan yang kita lihat
beberapa hari lalu? Malam ini aku ingin melihatnya kembali di tempat dan waktu
yang sama. Sudi kiranya kau mau menjadi bagian dari kami malam ini.
Susi
Suasana
pantai malam ini cukup ramai. Banyak muda-mudi yang lalu lalang di hadapanku.
Mereka tengah menikmati malam minggu bersama pasangannya. Lain halnya dengan
aku. Sudah hampir satu jam aku menunggu Oby yang tak kunjung datang.
“Tuhan,
kenapa dia tak datang menemuiku? Apakah dia tak ingin menjelaskan semuanya
padaku atau dia benar-benar tak mencintaiku lagi? Jika memang dia tak memandang
hatiku lagi, maka bantu aku terima kenyataan ini, Tuhan.” Kata hatiku yang
penuh gundah.
“Malam,
Susi.” Sapa Oby yang tiba-tiba datang dan duduk di sampingku.
“Malam,
By. Kupikir kamu tak datang. Kamukan sibuk dengan dia?” Kataku yang sedikit
menyindir.
“Tidak,
Sus. Aku baru selesai berbincang dengan ayah dan ibu. Serius” Jawabnya yang
mencoba meyakinkanku.
“Iyalah.
Aku suruh kau datang ke sini sebab ada hal yang harus kita bicarakan. Kenapa
kamu tega?” Aku pun menunjukan gambar yang kuterima beberapa hari lalu.
“Iya
itu Oby. Oby minta maaf. Oby mengaku salah. Oby khilaf. Waktu itu Oby sudah
putus asa untuk menunggu Susi. Oby ingin segera membawa Susi ke sini, tapi Susi
selalu bilang tunggu sampai orang tua Susi izinkan. Sampai Oby fikir Susi hanya
main-main. Sekarang Oby tak sangka Susi mampu datang ke sini untuk buktikan semuanya.
Oby menyesal. Oby minta maaf, Sus.” Jelas Oby penuh penyesalan.
“Jadi
selama ini kamu anggap hubungan kita main-main saja begitu, By? Kenapa waktu itu
aku tak ikut langsung denganmu pulang? Sebab aku butuh ridho orang tuaku, By.
Jika dulu aku hanya menuruti nafsu kita, mungkin benar sudah lama aku berada di
sini membangun keluarga kecil bersamamu. Tapi haruskah dengan tanpa ridho orang
tuaku? Aku hanya minta 1 tahun saja untuk penuhi permintaan orang tuaku bekerja.
Kamu pun tau waktu itu aku baru saja menyandang gelar sarjanaku.” Ucapku dengan
suara yang mulai berat dan terbata-bata.
“Jujur
sampai saat ini di hati Oby hanya ada Susi. Oby hanya mencintai Susi. Sekalipun
Costantine bersamaku tiap hari, Oby hanya ingat Susi. Oby tersiksa dengan
perasaan cinta dan rindu Oby pada Susi yang jauh di sana. Susi pun tahu
keluarga Oby menginginkan Susi seorang. Sekarang keberadaan Susi di sini
membuat Oby sadar bahwa Oby telah melakukan kesalahan besar dengan membohongi
Susi selama ini. Oby minta maaf.” Dengan air mata yang berlinang Oby pun
berusaha menjelaskan apa yang selama ini dia rasakan.
“Apa
pun penjelasan kamu, tak bisa memperbaiki hubungan kita seperti dulu lagi. Kamu
harus mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu terhadap Costantine dan aku
harus relakan kamu untuk dia. Itu kenyataannya sekarang. Kenyataan yang tak
pernah aku bayangkan sebelumnya. Aku memang bodoh.” Air mataku pun jatuh tak
tertahan lagi. Semakin banyak penjelasan darinya, maka semakin lara hatiku.
“Maafkan
aku, Susi. Percayalah perasaan Oby hanya untuk Susi.” Kata Oby sembari menyapu
air mataku dan memelukku dengan eratnya.
“Nasi
sudah menjadi bubur, By. Kesalahan Oby telah menghancurkan harapan dan mimpi
kita selama ini. Mungkin ini adalah hadiah ulang tahun dariku yang terakhir.
Memang tak menarik lagi apa yang aku berikan ini, tapi aku harap kamu mau
terima.” Aku memberikan sebuah hoodie bag
berisikan scrapbook kepada Oby. Aku
pun pamit untuk pulang.
Esok
adalah jadwal keberangkatan kapal tujuan Surabaya dari Pelabuhan Sorong. Mau
tak mau pagi ini, aku harus kembali ke Kota Minyak. Aku akan pulang.
Sebelum
berangkat, Oby akan mengajakku ke rumah untuk berpamitan dengan ayah dan
ibunya. Berkali-kali kucoba menghubunginya melalui ponsel namun hasilnya nihil.
Aku pun mencoba menenangkan diri dengan bermain game di ponselku. Tiba-tiba sebuah panggilan masuk dari Ibu Oby dan
menghentikan permainanku.
“Selamat
pagi, Ibu.” Sapaku dengan lembut.
“Ibu,
Ibu. Tidak usah Susi panggil Ibu e. Susi ini memang bodoh, tidak tau diri.
Susah payah saya pertahankan Susi, tapi Susi kasih tinggal Oby, suruh kawin
dengan perempuan itu. Saya tidak mau. Sudah, sekarang Susi pulang sudah. Tidak
perlu kembali ke sini dan pamit dengan ibu ayah.” Sahut Ibu yang kemudian
mematikan teleponnya.
Aku
sangat syok dengan kejadian ini. Baru kali ini beliau melontarkan kata-kata
yang cukup kasar kepadaku. Tak lama kemudian Oby pun datang.
“Hai,
By. Ku kira kau lupa.” Sapaku sembari beranjak dari tempat dudukku. Aku pun
melemparkan senyum lebar dan berusaha menutupi kejadian yang baru saja terjadi.
“Maaf.
Kamu sudah siap?” Katanya dengan membalas senyumku.
“Sudah.
Tuh, koperku sudah duduk dalam mobil dari tadi.” Sahutku sedikit dengan
candaan. Kali ini Oby terlihat sedang menutupi sesuatu dariku. Entah apa aku
tak tahu pasti. Kami pun bergegas menuju dermaga dan naik KM Belibis tujuan
Kota Minyak.
Sampailah
kami di Kota Minyak. Kapal tujuan Surabaya dijadwalkan berangkat besok siang. Aku
pun kembali bermalam di rumahnya yang tak jauh dari Pantai Tanjung Kasuari.
Malam
ini serasa dunia hanya milik kami berdua. Satu per satu video kenangan
kebersamaan kami diputar untuk menemani malam kami. Ternyata banyak hal konyol
yang selama ini kami lakukan dan pantas kami tertawakan.
“Maafkan
Oby. Maafkan segala khilaf Oby. Maafkan Oby tak ajak Susi ke rumah jumpa ayah
ibu tadi.” Ucap Oby tiba-tiba.
“Susi
masih sayang Oby?” Lanjutnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
“Sampai
kapan pun. Sekali pun kita tak akan pernah berjumpa lagi setelah ini.” Jawabku
penuh yakin sembari menyunggingkan senyum manisku.
Kutatap
dalam kedua bola matanya. Kulihat sebuah penyesalan yang amat dalam dari
dirinya. Seolah dia ingin memperbaiki semuanya tapi itu tak mungkin. Air mata
kami pun saling beradu malam ini. Disapunya berkali-kali air mataku. Dia
berusaha menenangkanku yang menagis tersedu-sedu. Dikecupnya keningku kemudian
dia memelukku erat. Aku merasakan kehadiran Oby yang dulu sangat mencintaiku.
Oby yang dulu sangat menjaga marwah dan perasaanku.
Ini
adalah H-7 lebaran. Banyak para pendatang di Kota Minyak mudik ke kampung
halamannya dengan kapal yang aku gunakan. Melihat kondisi kapal yang penuh
sesak Oby pun khawatir padaku. Dia paham betul bahwa aku tak mampu
berdesak-desakan dengan membawa barang bawaanku sendiri. Baginya, aku adalah
penumpang amatiran. Dibawakannya semua barang-barangku hingga ke atas kapal.
Dia pun mencarikan tempat duduk yang nyaman dan aman di deck luar untukku.
Sepucuk
surat merah jambu kuhaturkan padanya sebelum dia meninggalkanku di deck. Tak ada sepatah kata yang terucap
dari kami. Hanya sebuah pelukan dan kecupan mesra di keningku sebagai salam
perpisahan kami. Sedih rasanya saat langkahnya perlahan mulai meninggalkanku
seorang diri. Hingga tanpa aku sadari, air mataku jatuh ketika sosok yang
selama ini kudambakan hilang dari hadapanku.
Tak
lama kemudian kulihat dia telah berada di dermaga. Nampak dia tengah membuka
surat yang kuberikan. Dibacanya surat itu.
Dear Oby
Kecintaanku kepadamu bukan sebab
kekayaan dan ketampanan. Kecintaanku padamu disebabkan keteguhanmu untuk
meyakinkan aku dan keluargaku dulu. Saat keteguhan itu hilang, maka bukan berarti
hilang pula kecintaanku padamu. Maafkan aku jika aku menjadi orang yang paling
kecewa dalam kekacauan yang terjadi kali ini. Hingga kekecewaanku sanggup
memaksa diri ini untuk pergi.
Kerelaanku melepaskanmu untuk dia
bukan pula sebab aku tak cinta. Hanya saja, aku mencoba memahami bahwa
kebahagiaanmu bersama orang yang senantiasa ada didekatmu jauh lebih penting
dari pada penderitaanmu yang disebabkan oleh penantianmu terhadapku. Biarlah
aku menjadi wanita yang tersesat dan kehilanganmu sebab kecintaanku padamu ini.
Terima kasih untuk setiap kasih yang
pernah ada untukku.
Susi
Kapal pun mulai membunyikan blast-nya dan perlahan meninggalkan
dermaga. Oby yang menyadarinya memalingkan pandangan ke arahku. Dia melambaikan
tangannya dan sesekali menyapu air matanya. Aku pun membalas lambaian itu
hingga tak terlihat lagi sosok dirinya.
Begitulah
kisah cintaku kali ini. Kisah yang sampai detik ini tak mampu kulupakan. Sebuah
cinta yang telah mematahkan sebelah sayapku. Tapi, siapa kata patahnya sebelah
sayap tak bisa terbang? Kalau ada kekuatan diri, kita pasti bisa menggapai awan
itu kembali. Mungkin terbangnya tak sempurna, tapi akan tetap nampak indah.
BIODATA PENULIS
Susi
Karyati, S.Sos. Lahir di Wonosobo, 3 Desember 1993. Lulus S1 di Program Studi
Pembangunan Masyarakat Desa STPMD “APMD” Yogyakarta tahun 2018. Alamat saat ini
yaitu Mlandi, RT 2/RW 3, Sumberdalem, Kertek, Wonosobo. Saat ini saya berprofesi
sebagai caregiver anak di sebuah lembaga pendidikan swasta di Wonosobo.
WA : 087722659576
Ig
: @sakyasvaldo25
Twitter : @susi_karyati