Saturday, May 6, 2023

PATAHNYA SEBELAH SAYAP


Adzan Maghrib sudah berkumandang, tapi aku masih sibuk dengan selembar kertas yang ada di tangan. Seolah aku tak menghiraukannya. Ratusan orang berjajar di depan dan belakangku memadati setiap lorong sempit yang penuh asap rokok. Hampir setengah jam sudah, aku berdesak-desakan mengantri menu berbuka puasa di deck empat. Ini adalah hari kedua puasa ramadhan dan aku masih berada di atas kapal.

            Mayoritas di deck yang aku tempati adalah penumpang tujuan Sorong, Nabire, dan sekitarnya. Mereka juga berasal dari berbagai macam daerah. Meski begitu mereka tetap menikmati perjalanan layaknya bersama keluarga termasuk aku. Selama di kapal, kami saling membantu dan menghibur. Bahkan sesekali satu diantara mereka sudi untuk mengajakku berkeliling kapal. Maklum, ini adalah kali pertamaku melakukan perjalanan dengan kapal.  

Suara dari sebuah speaker tiba-tiba menghentikan kesibukan kami. Seorang petugas information center menginformasikan bahwa satu jam lagi kapal segera tiba di Pelabuhan Sorong. Aku pun menelan mentah sisa makanan dan bergegas menyiapkan barang bawaanku. Tak banyak yang ku bawa hanya sebuah ransel dan koper serta hoodie bag berisi scrapbook hasil karyaku sendiri.

            Beberapa menit berselang, blast terdengar sekali. Itu menandakan bahwa kapal segera bersandar. Rasanya aku sudah tak sabar ingin segera turun. Aku pun bergegas meninggalkan deck menuju pintu keluar.           

            Perlahan aku mulai menuruni satu per satu anak tangga kapal. Ini pertama kalinya, aku menginjakkan kaki dikota yang konon disebut-sebut sebagai Kota Minyak. Yang sampai sekarang pun masih terasa bagai mimpi.

“Susi!” Seseorang memanggilku dari kejauhan.

Kucoba mencari sumber suara itu. Kulihat seorang lelaki berkaos hitam, berjambang, dan berambut ikal berdiri sekitar 6 meter di hadapanku sembari melambaikan tangannya. Perlahan orang itu mulai menghampiriku. Semakin dia mendekat rasanya semakin sesak dadaku. Hingga akhirnya sebuah pelukan darinya melegakanku. Air mata kami pun saling beradu seolah rindu yang bertahun lamanya terbayar begitu saja.

“Oby, Susi sangat rindu.”Bisikku sembari memeluk erat lelaki itu yang sudah bertahun lamanya tak kutemui. Banyak harapan dan impian yang aku bawa dalam pertemuan kami kali ini termasuk keseriusan rencana Oby dan keluarganya untuk meminangku.

“Ayo, kita pulang. Mobil Oby di sana.” Kata Oby sembari mengangkat koper.

Seperti biasa dia tak lupa menyematkan jemarinya disela jemariku. Bahagia yang mendalam tak bisa lagi dielakkan oleh sanubariku. Semua terasa seperti dulu saat kami masih berada di kota tempat kami menimba ilmu.

Sepanjang perjalanan, kami asik berbincang. Oby juga sangat antusias untuk mendengarkan pengalaman pertamaku berlayar. Hingga tak terasa jam di ponselku sudah menunjukan pukul 22.00 WIT. Perjalanan kami pun terhenti di sebuah halaman rumah.

“Ini rumah Oby. Nanti Susi bisa tidur di kamar ayah. Besok siang Oby bawa Susi jumpa ayah dan ibu. Ok?” Jelasnya sambil menunjuk rumah di sebelah kiriku. Rumah itu nampak sepi dan tak berpenghuni. Ayah ibu Oby memang lama tidak tinggal di sini. Mereka tinggal di kabupaten lain yang jaraknya sekitar 85 km dan harus ditempuh menggunakan feri.

Teriknya matahari siang ini tak menyurutkan semangatku untuk sampai kesebuah feri yang bertuliskan KM Belibis. Seperti biasanya KM Belibis melayani penyeberangan pukul 14.00 WIT. Penyeberangan terakhir untuk hari ini.

Satu jam telah berlalu, kami pun sampai di kabupaten tempat orang tua Oby tinggal. Senang rasanya sebab sebentar lagi aku berjumpa kembali dengan orang tuanya. Sebenarnya, pernah sekali aku berjumpa dengan mereka, tapi itu 2 tahun lalu di hari wisuda Oby. Mereka juga sempat datang ke rumah bertemu dengan keluargaku dan membicarakan rencana mereka untuk memingangku. Sejak itulah hubungan kami sangat rapat terlebih aku dengan Ibunya.

“Ibu. Ibu.” Panggil Oby pada ibunya sembari menelusuri setiap ruang di rumahnya. Tak lama kemudian keluarlah Oby bersama seorang wanita yang 35 tahun lebih tua darinya.

“Selamat siang, Ibu.” Sapaku sembari menghampiri wanita itu untuk berjabat tangan.

Tiba-tiba wanita itu memelukku dengan eratnya dan berkata, “Oh sayang, ibu khawatir sekali waktu dengar Susi sudah di jalan mau ke sini. Susi sehat?” Lagi-lagi aku hanyut dalam suasana bahagaia yang hanya terungkapkan dengan air mata. Wanita itu adalah Ibu Oby.

“Susi sehat ibu. Ibu bagaimana kabar? Oh iya ayah kemana?” Kataku sembari menyeka air mataku.

“Oh ayah lagi keluar. Sebentar lagi pulang.”Jelas Ibu.

Tak lama berselang seorang lelaki berkacamata membuka pintu dengan mengucapkan salam.

“Selamat siang.” Ucapnya sembari melihat ke arah tempat duduk kami.

“Selamat siang ayah.” Aku pun menjawab salamnya sembari menghampirinya. Dia adalah ayah Oby.

Kami pun melanjutkan kembali perbincangan kami sebelum akhirnya pergi ke rumah yang akan aku tinggali. Ayah telah menyiapkan rumah di komplek sebelah untukku. Ayah tak ingin aku dan keluarganya menjadi buah bibir orang sekitar sebab tinggal seatap sebelum menikah. Aku pun menyadari bahwa aku tengah bermalam di bawah nyiur pinang orang, maka kata orang dituruti. Aku harus tetap mengikuti adat-istiadat yang ada di sini.

Sejak awal aku datang, silih berganti keluarga besar Oby berkunjung ke rumah. Mereka menyambutku dengan hangat dan menerimaku sebagai bagian dari keluarganya. Keseharianku pun selalu kuhabiskan bersama ayah dan ibu di rumah sembari menunggu Oby pulang kerja. Aku merasa nyaman berada di tengah-tengah mereka. Bahkan kenyamanan ini nyaris membuatku tak ingin kembali ke tanah kelahiran.

Hari ini tidak seperti biasanya Oby pulang terlambat. Tak ada kabar apa pun dari dia. Aku yang sedari tadi menunggunya di rumah juga mulai bosan.

“Permisi ayah, boleh susi pinjam motor ayah sebentar? Susi mau ke ATM di ujung jalan sekalian beli takjil.” Pintaku pada ayah yang sedari tadi duduk bersamaku di serambi rumah.

Aku memang sudah cukup menguasai jalan di kota ini setelah beberapa hari yang lalu  Oby mengajaku berkeliling. Bahkan sudah menjadi kebiasaanku menikmati senja seorang diri di pantai yang berada tak jauh dari rumahnya.

“Boleh. Itu kuncinya. Jangan lupa pakai helm.”Jawab ayah sembari menunjuk kunci yang tergeletak di atas meja.

“Terimakasih, Ayah.” Sahutku.

Di tengah perjalanan, ku lihat seorang perempuan tengah membonceng lelaki dengan sepeda motor sembari memeluk erat dari belakang. Mereka nampak sangat menikmati perjalannya itu.  Saat motorku berada tepat di samping motornya, lelaki itu pun menoleh ke arahku dan menyebut namaku dengan lirih. Aku hanya tersenyum kecut dan segera enyah dari hadapan mereka. Aku segera pulang dan mengembalikan motor ayah.

Sebelumnya aku memang sempat mendengar kabar kedekatan hubungan Oby dengan seorang perempuan. Oby pun pernah menjelaskan bahwa mereka hanya sebatas teman. Oby hanya ingin menjaganya sebab dia tengah menjalani perawatan. Singkat cerita oby pernah bercerita tentang Costantine perempuan yang diboncengnya tadi termasuk mengenai penyakitnya yang membuat Costantine dikucilkan oleh keluarganya sendiri.

“Susi, Oby bisa jelaskan semuanya. Yang Susi lihat tadi tidak seperti yang Susi pikirkan.” Kata Oby yang coba menahanku.

“Susi paham kalau perempuan itu sakit. Tapi, haruskah seperti itu ditempat umum? Satu lagi tolong hapus lipstik di bibirmu jangan sampai ayah dan ibu tau. Entah apa yang kalian sudah lakukan.” Sahutku dengan penuh amarah yang harus ku tahan. Aku pun segera pergi meninggalkanya. Aku tak ingin ayah dan ibunya tahu perdebatan kami.

Kecewaku makin bertambah ketika orang yang tak kukenal mengirimkan sebuah gambar melalui akun whatsappku. Pada gambar itu, kulihat Oby dengan Costantine tengah berada di sebuah kamar. Gambar yang tak pantas untuk disebar luaskan menurutku. Aku sendiri malu dan jijik melihatnya.

Sejak saat itu aku jarang berjumpa Oby. Jangankan datang ke rumahnya mengangkat telefonnya saja aku enggan. Aku tak ingin membicarakan apapun lagi dengannya termasuk gambar itu. Hatiku telah hancur.

Semilir angin Pantai WTC sore ini masih memainkan rambut panjangku. Kicauan burung dan deburan ombak pun senantiasa menenangkan hati tatkala aku teringat kejadian beberapa waktu lalu. Tiba-tiba seorang perempuan berambut kriting dan berkulit gelap menghampiriku. Kehadirannya memperkeruh suasana batinku.

“Mbak Susi.” Sapa Costantine padaku.

“Ada apa?” Tanyaku singkat.

Ingin sekali kulapiaskan kemarahanku kepadanya, tapi tak mungkin. Aku hanyalah seorang pendatang. Tak elok jika aku membuat keributan terlebih hanya perkara lelaki.

“Aku tau Mbak Susi marah sama aku dan Oby. Aku minta maaf, Mbak. Aku tahu aku salah, tapi aku nyaman sama dia. Oby juga.” Jelas Costantine yang membuatku semakin geram.

“Sejauh apa hubungan kalian?” Tanyaku sambil menunjukan gambar yang kudapat beberapa hari lalu.

 “Selama ini aku tau kamu sakit, Oby coba jagain kamu dan aku izinkan. Tapi bukan berarti aku izinkan kalian berkhianat di belakang aku. Kamu tahu tujuan aku jauh-jauh kesini buat apa? Buat buktiin ke dia dan keluarganya kalau aku sayangkan dia.” Lanjutku dengan emosi yang mulai pecah.

“Aku tahu mbak. Aku paham. Oby selalu cerita ke aku tentang Mbak. Dia juga sayang Mbak Susi. Tapi dia juga berjanji akan menikahiku karena dia pikir tak mungkin Mbak Susi akan berani datang ke sini untuk buktikan sayang Mbak ke Oby.” Costantine pun terus mencoba menjelaskan apa yang terjadi selama ini antara dia dan Oby.

“Kamu mau nikah dengan diakan? Nikahlah!” Marahku pun makin memuncak.

“Tidak, Mbak. Orang tua Oby tak pernah restui hubungan kami karena aku sakit. Oby pernah meminta orang tuanya untuk meminangku tapi menolaknya.” Jawab Costantine dengan lirih. Mendengar penjelasannya, aku pun semakin kecewa. Ternyata selama ini orang tua Oby telah mengetahui hubungan mereka dan menyembunyikannnya dariku.

Pagi ini ku beranikan diri untuk datang ke rumah Oby menemui ibunya. Besar harapan, aku tak berjumpa dengan Oby. Saat kulangkahkan kakiku ke halaman rumahnya nampak ibu sedang sibuk dengan setumpuk piring kotornya. Ibu pun menyadari kedatanganku dan mempersilakanku duduk di kursi yang tak jauh dari tempatnya mencuci piring.

“Susi, Su lama tidak kesini?” Tanya ibu sambil menyelesaikan pekerjaannya.

“Maaf Ibu. Susi ada jalan-jalan di sekitar kota jadi baru sempat ke sini.” Jawabku sedikit gugup. Ini adalah kali pertama aku berbohong padanya.

“Pantas Oby sering terlambat pulang. Ada bajalan deng Susi rupanya.” Kata Ibu sambil menyunggingkan senyum manisnya. Aku pun hanya meresponnya dengan senyuman.

“Ibu, Susi boleh bertanya sesuatu?” Tanyaku dengan penuh rasa takut.

“Oh iyo. Mo tanya apa Susi?” Kata ibu sembari menuju kursi yang ada di sebelahku.

“Ibu tahu hubungan Oby dan Costantine?” Tanyaku to the point pada ibu.

“Susi ada tahu sesuatukah?” Jawab ibu yang saat itu nampak kaget.

“Kemarin kami bertemu di pantai.” Belum sempat kuceritakan perjumpaanku dengan Costantine ibu langsung memotong pembicaraanku.

“Ibu sudah larang dia bertemu Oby atau pun kau Susi. Sekarang justru kau bertemu dia. Entah apa yang akan terjadi setelah ini.” Kata ibu dengan sangat marah.

“Tapi kenapa ibu?”Tanyaku sedikit agak memaksa.

“Ibu dan ayah tidak suka dengan dia. Kami cuma maunya Oby sama Susi. Susi, perempuan itu ada sakit. Sakitnya itu karena sering gonta-ganti lelaki. Itu orang satu kota ini tahu. Dia tidak baik, Susi. Dulu, Oby kepergok lagi di kamar berdua dengan perempuan itu. Oby dituntut buat nikahi. Kitanya tetap tidak mau. Akhirnya kita pilih bayar denda. Ibu tak pernah ceritakan ini ke susi karna ibu takut susi pergi kalau tau. Ibu cuma mau Susi saja.” Jelas ibu dengan mata yang berkaca-kaca.

Bagaikan disambar petir waktu kudengar penjelasan ibu. Aku hanya bisa diam dan meneteskan air mata kekecewaanku. Bertahun lamanya aku menunggu Oby dan keluarga yang berjanji segera datang meminangku. Selama itu pula aku mencoba setia kepada cinta yang terpisahkan oleh jarak. Aku pergi dari sebrang nan jauh disana dengan penuh harapan dan mimpi untuk memetik bunga kasihku bersama Oby. Namun sebuah pengkhianatan telah menghancurkan harapanku. Mimpiku untuk segera mendapat pinangan pun lebur bersama dengan setiap kenyataan pahit yang kudapat. Oby dan keluarganya telah merusak kepercayaanku. Bagai menanti orang dahulu, mengejar orang kemudian. Itilah nasib pengorbanan cintaku selama 5 tahun ini.

Ku tinggalkan sebuah memo di atas tempat tidur Oby. Berharap dia membacanya sepulang kerja.

Dear Oby,

Kamu ingat rembulan yang kita lihat beberapa hari lalu? Malam ini aku ingin melihatnya kembali di tempat dan waktu yang sama. Sudi kiranya kau mau menjadi bagian dari kami malam ini.

 

Susi

Suasana pantai malam ini cukup ramai. Banyak muda-mudi yang lalu lalang di hadapanku. Mereka tengah menikmati malam minggu bersama pasangannya. Lain halnya dengan aku. Sudah hampir satu jam aku menunggu Oby yang tak kunjung datang.

“Tuhan, kenapa dia tak datang menemuiku? Apakah dia tak ingin menjelaskan semuanya padaku atau dia benar-benar tak mencintaiku lagi? Jika memang dia tak memandang hatiku lagi, maka bantu aku terima kenyataan ini, Tuhan.” Kata hatiku yang penuh gundah.

“Malam, Susi.” Sapa Oby yang tiba-tiba datang dan duduk di sampingku.

“Malam, By. Kupikir kamu tak datang. Kamukan sibuk dengan dia?” Kataku yang sedikit menyindir.

“Tidak, Sus. Aku baru selesai berbincang dengan ayah dan ibu. Serius” Jawabnya yang mencoba meyakinkanku.

“Iyalah. Aku suruh kau datang ke sini sebab ada hal yang harus kita bicarakan. Kenapa kamu tega?” Aku pun menunjukan gambar yang kuterima beberapa hari lalu.

“Iya itu Oby. Oby minta maaf. Oby mengaku salah. Oby khilaf. Waktu itu Oby sudah putus asa untuk menunggu Susi. Oby ingin segera membawa Susi ke sini, tapi Susi selalu bilang tunggu sampai orang tua Susi izinkan. Sampai Oby fikir Susi hanya main-main. Sekarang Oby tak sangka Susi mampu datang ke sini untuk buktikan semuanya. Oby menyesal. Oby minta maaf, Sus.” Jelas Oby penuh penyesalan.

“Jadi selama ini kamu anggap hubungan kita main-main saja begitu, By? Kenapa waktu itu aku tak ikut langsung denganmu pulang? Sebab aku butuh ridho orang tuaku, By. Jika dulu aku hanya menuruti nafsu kita, mungkin benar sudah lama aku berada di sini membangun keluarga kecil bersamamu. Tapi haruskah dengan tanpa ridho orang tuaku? Aku hanya minta 1 tahun saja untuk penuhi permintaan orang tuaku bekerja. Kamu pun tau waktu itu aku baru saja menyandang gelar sarjanaku.” Ucapku dengan suara yang mulai berat dan terbata-bata.

“Jujur sampai saat ini di hati Oby hanya ada Susi. Oby hanya mencintai Susi. Sekalipun Costantine bersamaku tiap hari, Oby hanya ingat Susi. Oby tersiksa dengan perasaan cinta dan rindu Oby pada Susi yang jauh di sana. Susi pun tahu keluarga Oby menginginkan Susi seorang. Sekarang keberadaan Susi di sini membuat Oby sadar bahwa Oby telah melakukan kesalahan besar dengan membohongi Susi selama ini. Oby minta maaf.” Dengan air mata yang berlinang Oby pun berusaha menjelaskan apa yang selama ini dia rasakan.

“Apa pun penjelasan kamu, tak bisa memperbaiki hubungan kita seperti dulu lagi. Kamu harus mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu terhadap Costantine dan aku harus relakan kamu untuk dia. Itu kenyataannya sekarang. Kenyataan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Aku memang bodoh.” Air mataku pun jatuh tak tertahan lagi. Semakin banyak penjelasan darinya, maka semakin lara hatiku.

“Maafkan aku, Susi. Percayalah perasaan Oby hanya untuk Susi.” Kata Oby sembari menyapu air mataku dan memelukku dengan eratnya.

“Nasi sudah menjadi bubur, By. Kesalahan Oby telah menghancurkan harapan dan mimpi kita selama ini. Mungkin ini adalah hadiah ulang tahun dariku yang terakhir. Memang tak menarik lagi apa yang aku berikan ini, tapi aku harap kamu mau terima.” Aku memberikan sebuah hoodie bag berisikan scrapbook kepada Oby. Aku pun pamit untuk pulang.

Esok adalah jadwal keberangkatan kapal tujuan Surabaya dari Pelabuhan Sorong. Mau tak mau pagi ini, aku harus kembali ke Kota Minyak. Aku akan pulang.

Sebelum berangkat, Oby akan mengajakku ke rumah untuk berpamitan dengan ayah dan ibunya. Berkali-kali kucoba menghubunginya melalui ponsel namun hasilnya nihil. Aku pun mencoba menenangkan diri dengan bermain game di ponselku. Tiba-tiba sebuah panggilan masuk dari Ibu Oby dan menghentikan permainanku.

“Selamat pagi, Ibu.” Sapaku dengan lembut.

“Ibu, Ibu. Tidak usah Susi panggil Ibu e. Susi ini memang bodoh, tidak tau diri. Susah payah saya pertahankan Susi, tapi Susi kasih tinggal Oby, suruh kawin dengan perempuan itu. Saya tidak mau. Sudah, sekarang Susi pulang sudah. Tidak perlu kembali ke sini dan pamit dengan ibu ayah.” Sahut Ibu yang kemudian mematikan teleponnya.

Aku sangat syok dengan kejadian ini. Baru kali ini beliau melontarkan kata-kata yang cukup kasar kepadaku. Tak lama kemudian Oby pun datang.

“Hai, By. Ku kira kau lupa.” Sapaku sembari beranjak dari tempat dudukku. Aku pun melemparkan senyum lebar dan berusaha menutupi kejadian yang baru saja terjadi.

“Maaf. Kamu sudah siap?” Katanya dengan membalas senyumku.

“Sudah. Tuh, koperku sudah duduk dalam mobil dari tadi.” Sahutku sedikit dengan candaan. Kali ini Oby terlihat sedang menutupi sesuatu dariku. Entah apa aku tak tahu pasti. Kami pun bergegas menuju dermaga dan naik KM Belibis tujuan Kota Minyak.

Sampailah kami di Kota Minyak. Kapal tujuan Surabaya dijadwalkan berangkat besok siang. Aku pun kembali bermalam di rumahnya yang tak jauh dari Pantai Tanjung Kasuari.

Malam ini serasa dunia hanya milik kami berdua. Satu per satu video kenangan kebersamaan kami diputar untuk menemani malam kami. Ternyata banyak hal konyol yang selama ini kami lakukan dan pantas kami tertawakan.

“Maafkan Oby. Maafkan segala khilaf Oby. Maafkan Oby tak ajak Susi ke rumah jumpa ayah ibu tadi.” Ucap Oby tiba-tiba.

“Susi masih sayang Oby?” Lanjutnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

“Sampai kapan pun. Sekali pun kita tak akan pernah berjumpa lagi setelah ini.” Jawabku penuh yakin sembari menyunggingkan senyum manisku.

Kutatap dalam kedua bola matanya. Kulihat sebuah penyesalan yang amat dalam dari dirinya. Seolah dia ingin memperbaiki semuanya tapi itu tak mungkin. Air mata kami pun saling beradu malam ini. Disapunya berkali-kali air mataku. Dia berusaha menenangkanku yang menagis tersedu-sedu. Dikecupnya keningku kemudian dia memelukku erat. Aku merasakan kehadiran Oby yang dulu sangat mencintaiku. Oby yang dulu sangat menjaga marwah dan perasaanku.

Ini adalah H-7 lebaran. Banyak para pendatang di Kota Minyak mudik ke kampung halamannya dengan kapal yang aku gunakan. Melihat kondisi kapal yang penuh sesak Oby pun khawatir padaku. Dia paham betul bahwa aku tak mampu berdesak-desakan dengan membawa barang bawaanku sendiri. Baginya, aku adalah penumpang amatiran. Dibawakannya semua barang-barangku hingga ke atas kapal. Dia pun mencarikan tempat duduk yang nyaman dan aman di deck luar untukku.

Sepucuk surat merah jambu kuhaturkan padanya sebelum dia meninggalkanku di deck. Tak ada sepatah kata yang terucap dari kami. Hanya sebuah pelukan dan kecupan mesra di keningku sebagai salam perpisahan kami. Sedih rasanya saat langkahnya perlahan mulai meninggalkanku seorang diri. Hingga tanpa aku sadari, air mataku jatuh ketika sosok yang selama ini kudambakan hilang dari hadapanku.

Tak lama kemudian kulihat dia telah berada di dermaga. Nampak dia tengah membuka surat yang kuberikan. Dibacanya surat itu.

Dear Oby

Kecintaanku kepadamu bukan sebab kekayaan dan ketampanan. Kecintaanku padamu disebabkan keteguhanmu untuk meyakinkan aku dan keluargaku dulu. Saat keteguhan itu hilang, maka bukan berarti hilang pula kecintaanku padamu. Maafkan aku jika aku menjadi orang yang paling kecewa dalam kekacauan yang terjadi kali ini. Hingga kekecewaanku sanggup memaksa diri ini untuk pergi.

Kerelaanku melepaskanmu untuk dia bukan pula sebab aku tak cinta. Hanya saja, aku mencoba memahami bahwa kebahagiaanmu bersama orang yang senantiasa ada didekatmu jauh lebih penting dari pada penderitaanmu yang disebabkan oleh penantianmu terhadapku. Biarlah aku menjadi wanita yang tersesat dan kehilanganmu sebab kecintaanku padamu ini.

Terima kasih untuk setiap kasih yang pernah ada untukku.

           

Susi                             

            Kapal pun mulai membunyikan blast-nya dan perlahan meninggalkan dermaga. Oby yang menyadarinya memalingkan pandangan ke arahku. Dia melambaikan tangannya dan sesekali menyapu air matanya. Aku pun membalas lambaian itu hingga tak terlihat lagi sosok dirinya.  

Begitulah kisah cintaku kali ini. Kisah yang sampai detik ini tak mampu kulupakan. Sebuah cinta yang telah mematahkan sebelah sayapku. Tapi, siapa kata patahnya sebelah sayap tak bisa terbang? Kalau ada kekuatan diri, kita pasti bisa menggapai awan itu kembali. Mungkin terbangnya tak sempurna, tapi akan tetap nampak indah.

 

 

 

 

 


BIODATA PENULIS

 

Susi Karyati, S.Sos. Lahir di Wonosobo, 3 Desember 1993. Lulus S1 di Program Studi Pembangunan Masyarakat Desa STPMD “APMD” Yogyakarta tahun 2018. Alamat saat ini yaitu Mlandi, RT 2/RW 3, Sumberdalem, Kertek, Wonosobo. Saat ini saya berprofesi sebagai caregiver anak di sebuah lembaga pendidikan swasta di Wonosobo.

WA     : 087722659576

Ig         : @sakyasvaldo25

Twitter : @susi_karyati

 

No comments:

Post a Comment