Kemiskinan merupakan salah satu problem yang sering dialami
oleh suatu negara. Kemiskinan dapat terjadi karena keterbatasan faktor-faktor
geografis (daerahnya terpencil atau terisolasi, dan terbatasanya prasarana dan
sarana), ekologi (keadaan sumber daya tanah/lahandan air serta cuaca yang tidak
mendukung), teknologi (kesederhanaan sistem teknologi untuk berproduksi), dan
pertumbuhan penduduk yang tinggi dibandingkan dengan tingkat penghasilannya.
Menurut Hall dan Midgley kemiskinan adalah kondisi deprivasi
materi dan sosial yang menyebabkan individu hidup di bawah standar kehidupan
yang layak, atau kondisi individu yang mengalami deprivasi relatif dibandingkan
dengan individu yang lainnya dalam masyarakat.
Menurut Soekanto kemiskinan adalah suatu keadaan dimana
seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf
kehidupan dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam
kelompok tersebut.
Kemiskinan secara umum adalah kondisi yang ditandai oleh
serba kekurangan baik dalam pendidikan, kesehatan yang buruk, dan kekurangan
transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Adapun ciri-ciri kemiskinan diantaranya:
1. Ketidakmampuan untuk berusaha karena
cacat fisik maupun mental.
2. Ketiadaan jaminan masa depan (karena
tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga).
3. Kerentanan terhadap goncangan yang
bersifat individual maupun massal.
4. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan
konsumsi dasar (pangan, sandang dan papan).
5. Ketiadaan akses terhadap kebutuhan
hidup dasar lainnya (kesehatan,pendidikan, sanitasi, air bersih dan
transportasi).
6. Ketidakterlibatan dalam kegiatan
sosial masyarakat.
7. Ketiadaan akses terhadap lapangan
kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan.
8. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar,
wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal
dan terpencil).
9. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia
dan keterbatasan sumber alam.
Banyak perspektif yang yang menjelaskan bentuk-bentuk kemiskinan.
Menurut Jamasy (2004) terdapat empat bentuk kemiskinan yang mana setiap bentuk
memiliki arti tersendiri. Keempat bentuk tersebut adalah kemiskinan absolut dan
kemiskinan relatif yang melihat kemiskinan dari segi pendapatan, sementara
kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural yang melihat kemiskinan dari segi
penyebabnya.
Kemiskinan absolut terjadi apabila tingkat pendapatannya dibawah
garis kemiskinan atau sejumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan minimun, antara lain kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan
dan pendidikan yang diperlukan untuk meningkatkan kapasitas agar bisa hidup dan
bekerja. Kemiskinan jenis ini mengacu pada satu standard yang konsisten,
tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat /negara. Sebuah contoh dari pengukuran
absolut adalah persentase dari penduduk yang makan dibawah jumlah yang cukup
menopang kebutuhan tubuh manusia (kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk
laki laki dewasa). Bank Dunia mendefinisikan Kemiskinan absolut sebagai hidup
dengan pendapatan dibawah USD $1/hari, dan Kemiskinan menengah untuk
pendapatan dibawah $2 per hari. Dengan batasan ini maka diperkiraan pada
2001 terdapat 1,1 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari $1/hari, dan
2,7 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari $2/hari.
Kemiskinan relatif adalah kondisi dimana pendapatannya berada pada
posisi di atas garis kemiskinan, namun relatif lebih rendah dibanding
pendapatan masyarakat sekitarnya. Meskipun kemiskinan yang paling parah
terdapat di negara bekembang, ada bukti tentang kehadiran kemiskinan di
setiap region. Di negara-negara maju, kondisi ini menghadirkan kaum tuna wisma
yang berkelana ke sana kemari dan daerah pinggiran kota.
Kemiskinan struktural ialah kondisi atau situasi miskin karena
pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat
sehingga menyebabkan ketimpangan pendapatan. Kemiskinan struktural muncul
karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan
kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja. Struktur
sosial tersebut tidak mampu menghubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang
tersedia, baik yang disediakan oleh alam, pemerintah maupun masyarakat yang ada
disekitarnya. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini adalah buruh tani,
pemulung, penggali pasir dan mereka yang tidak terpelajar dan tidak terlatih.
Pihak yang berperan besar dari terciptanya kemiskinan struktural adalah
pemerintah. Sebab, pemerintah yang memiliki kekuasaan dan kebijakan cenderung
membiarkan masyarakat dalam kondisi miskin, tidak mengeluarkan kebijakan yang
pro masyarakat miskin, Kalau pun ada lebih berorientasi pada proyek, bukan pada
pembangunan kesejahteraan, sehingga tidak ada masyarakat miskin yang ‘naik
kelas’. Artinya jika pada awalanya sebagai buruh, nelayan, pemulung, maka
selamanya menjadi buruh nelayan dan pemulung.
Pada tahun 1970-an dan 1980-an para intelektual mengangkat
isu kemiskinan struktural ini. Kemiskinan ini timbul, karena ada hubungan
sosial ekonomi yang membuat kelompok orang tereksklusi dari posisi
ekonomi yang lebih baik. Penyebab eksklusi adalah ketergantungan
ekonomi pada negara industri maju, struktur perekonomian nasional jatuh
pada segelintir orang (kolusi penguasa dan pengusaha) serta politik dan
hubungan sosial yang tidak demokratis.
Kemiskinan struktural hadir dan muncul bukan karena takdir, bukan
karena kemalasan, atau bukan karena karena nasib. Kemiskinan jenis ini
muncul dari suatu usaha pemiskinan. Suatu usaha untuk menciptakan jurang
semakin lebar saja antara yang kaya dengan yang miskin. Kemiskinan struktural
adalah kemiskinan yang timbul dari adanya korelasi struktur yang timpang,
yang timbul dari tiadanya suatu hubungan yang simetris dan sebangun yang menempatkan
manusia sebagai obyek. Kemiskinan struktural timbul karena adanya hegemoni dan
justru karena adanya kebijakan negara dan pemerintah atau orang-orang yang
berkuasa, sehingga justru orang yang termarjinalkan semakin termarjinalkan saja.
Namun dalam beberapa dasawarsa belakangan ini terjadi
kecenderungan fenomena yang berbalik. Beberapa negara berkembang yang
penduduknya mengalami kemiskinan struktural, ternyata mampu bangkit dan
berkembang untuk merebut pasar global (Rohman, 2010). Pertanyaanya, apakah hal
itu pertanda kemiskinan karena faktor struktural tidak ada lagi, dan yang
ada faktor kultural serta kurangnya akses pada kebutuhan dasar? Hal ini secara
empiris perlu mendapat telaah yang lebih mendalam .
Kemiskinan kultural mengacu pada persoalan sikap seseorang atau
masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya. Sikap budaya itu, seperti tidak
mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak
kreatif, meskipun ada usaha dari pihak luar untuk membantunya. Sedangkan,
kebudayaan kemiskinan, merupakan kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya
nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas,
mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Ciri dari
kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya
dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh
masyarakat luas. Dalam komunitas lokal ditemui ada rumah yang bobrok, penuh
sesak dan bergerombol. Ditingkat keluarga, masa kanak-kanak cenderung singkat,
cepat dewasa, cepat menikah. Pada individu mereka ada perasaan tidak berharga,
tidak berdaya dan rendah diri akut.
Pandangan lain tentang budaya miskin merupakan efek domino dari
belenggu kemiskinan struktural yang menghinggap masyarakat terlalu lama.
Keadaan seperti itu membuat masyarakat apatis, pasrah, berpandangan jika
sesuatu yang terjadi adalah takdir. Dalam konteks keagamaan disebut dengan paham
jabariah. Contoh kemiskinan ini ada pada masyarakat pedesaan, komunitas
kepercayaan atau agama, dan kalangan marginal lainnya
Sumber:
http://umum-pengertian.blogspot.com/2017/04/jenis-kemiskinan-dan-penyebabnya.html,
diakses 13 November 2018 pukul 07.06 WIB
http://seputarpengertian.blogspot.com/2015/12/pengertian-ciri-ciri-dan-jenis-kemiskinan.html,
diakses 13 November 2018 pukul 07.06 WIB