Kata Partisipasi diartikan dengan “keikutsertaan”,
“Keterlibatan” dan “Pembagian Peran”. Kata ini banyak digunakan oleh masyarakat, akademisi, pemerintahan, LSM,
jurnalis, politikus dan pelatih dengan maksud yang berbeda. Partisipasi
merupakan konsep yang kompleks dan seringkali diinterpretasikan berbeda-beda.
Untuk memperoleh gambaran secara lebih jelas, maka disini akan diuraikan
tentang konsep partisipasi masyarakat.
Konsep partisipasi
seharusnya berbasis pada kesadaran individu untuk bertindak. Kata kesadaran mengacu
pada proses internal individu sebelum akhirnya ia memutuskan
untuk melakukan tindakan (ia mengalami proses transformasi dari individu menjadi palaku/subyek).
Sementara tindakan menandakan bahwa ketika tindakan itu
dilakukan sebenarnya individu tersebut telah menaruh “makna subyektif”
pada “tindakan” itu (yang dapat memuat aneka motif, kepentingan,
nilai, ideas, endapan tradisi, impuls emosi dsb).
Kalau dilihat
istilahnya, maka partisipasi mengacu pada posisi pelaku
sebagai part yang artinya bagian/ambil bagian atau
sebagai partner yang berarti mitra. Pemahaman yang pertama
yang mengkaitkan partisipasi dengan kata part menempatkan partisipasi pada
posisi pelaku sekedar ambil bagian atau sekedar berperanserta dan
lebih cenderung pada posisi pinggiran atau marjinal. Dengan
demikian Partisipasi lantas hanya sebagai padankata dari ikut serta
atau peranserta, yang pada proses terbentuknya tindakan tersebut
tidak diawali adanya proses internal kesadaran yang menumbuhkan dorongan
untuk berprakarsa atau berinisiatif atau mengawali suatu
tindakan (bersama). Prakarsa dilakukan pihak lain, kemudian warga diikutsertakan saja.
Sedangkan pemahaman yang kedua mengkaitkan
partisipasi dengan kata partner yang dapat ditafsirkan lebih
bermakna: (1) ada inisiatif untuk melakukan tindakan oleh subyek,
(2) mempunyai kesetaraan atau kesederajadan posisi dalam melakukan tindakan
bersama orang lain, (3) masing-masing pihak bersedia dan siap menanggung
konsekwensi bersama dari tindakan yang sama-sama dilakukan tersebut, (4)
masing-masing pihak mempunyai makna subyektif yang sama atau
mirip dalam menentukan dan melakukan tindakan bersama tersebut, dan (5)
tindakan yang sama-sama dipilih tersebut telah diproses dalam ruang
kesadaran sehingga tindakan itu memang sesuatu yang dikehendaki untuk
dilakukan.
Dari pemahaman kedua ini dapat dibedakan
makna kata partisipasi dari mobilisasi Kata mobilisasi menunjuk
pada tindakan yang ditentukan dan didorong oleh factor eksternal individu. Oleh
sebab itu ketika individu berubah menjadi pelaku dalam sebuah tindakan, maka
tindakan itu tidak muncul melalui proses internal didalam kesadaran individual.
Konsekuensinya makna tindakan oleh pelaku menjadi tidak sedalam pada kata
partisipasi, kesetiaan pelaku terhadap tindakan tidak seteguh pada kata
partisipasi (Suryo Adi P, 2004).
Konsep partisipasi ini dalam berbagai
kesempatan digunakan sedemikian luas bahkan memiliki arti yang berbeda untuk
orang-orang yang berbeda. Partisipasi ini digunakan untuk pembangunan kapasitas
dan kepercayaan diri masyarakat lokal, tetapi juga untuk membenarkan penyuluhan
di bawah kontrol pemerintah. Demikian beragamnya arti partisipasi dalam
berbagai kesempatan tersebut FAO menafsirkan arti kata partisipasi sebagai
berikut.
·
Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa
ikut serta dalam pengambilan keputusan.
·
Partisipasi adalah “pemekaan” (membuat peka) pihak masyarakat untuk
meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek-proyek
pembangunan.
·
Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa
orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif
dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu.
·
Partisipasi adalah pemantapan dialog diantara masyarakat setempat dengan
para staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, aagar
supaya memperoleh informasi mengenai konteks local. Dan dampak-dampak social.
·
Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang
ditentukannya sendiri.
·
Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri,
kehidupan, dan lingkungan mereka.
Oleh sebagian pakar partisipasi
didefinisikan sebagai keterlibatan mental dan emosional seseorang dalam situasi
kelompok yang mendorong mereka untuk ikut serta menyumbangkan kemampuan dalam
mencapai tujuan kelompok dan ikut bertanggung jawab atas tujuan kelompok
tersebut (Suparjan dan Hempri S, 2003).
Partisipasi dimaknai juga sebagai
keterlibatan rakyat dalam proses pembuatan keputusan, dalam pelaksanaan
program, andil mereka dalam manfaat program pembangunan dan keterlibatan mereka
dalam usaha mengevaluasinya. Partisipasi berkaitan dengan usaha terorganisir
untuk meningkatkan kontrol atas sumber daya dan institusi regulasi
dalam situasi sosial tertentu. Partisipasi juga merupakan bentuk kemitraan yang
dialogis diantara berbagai pelaku (stakeholders) dalam mempengaruhi dan membagi
kontrol atas prakarsa pembangunan dan keputusan dan sumber daya yang
mempengaruhinya (IRE, 2003).
Sementara itu ditemukan juga penggunaan
partisipasi yang berkisar pada partisipasi sebagai tujuan pada
dirinya sendiri atau partisipasi sebagai alat untuk
mengembangkan diri. Sebagai sebuah tujuan, partisipasi
menghasilkan pemberdayaan, yakni setiap orang berhak menyatakan pendapat dalam
pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupannya. Sebagai alat, partisipasi ditafsirkan
sebagai alat untuk mencapai efisiensi dalam manajemen proyek, sebagai alat
dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan. Partisipasi dalam konteks ini
berhubungan dengan dua hal penting:
·
Hubungan struktural serta pentingnya pengembangan kapasitas dan keahlian
masyarakat untuk bernegosiasi dan mencari sumber daya yang mereka perlukan
dalam memperbaiki hidup mereka.
·
Metode dan Teknik dimana masyarakat dapat dibawa untuk memainkan peranan
dan mengembangkan kontribusi dalam program pembangunan.
Kedua pengertian tersebut mewakili
partisipasi yang bersifat transformasional dan instrumental. Partisipasi
transformasional terjadi ketika partisipasi itu pada dirinya sendiri
dipandang sebagai tujuan, dan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih
tinggi lagi, misalnya menjadi swadaya dan dapat berkelanjutan. Sedangkan partisipasi
instrumental terjadi ketika partisipasi dilihat sebagai suatu cara
untuk mencapai sasaran tertentu, misalnya partisipasi masyarakat setempat dalam
proyek-proyek yang dilakukan oleh orang-orang luar.
Dalam kenyataan, kedua pokok pikiran
mengenai partisipasi itu sering hadir pada saat yang sama namun status dan
strateginya serta pendekatan metodologinya berbeda, yang dapat dilihat dalam
bagan sebagai berikut:
Dua Model Logika yang Mendasari StrategiPartisipatoris
Strategi
|
“Efisiensi”
Pembangunan
melalui kemitraan `Top Down` dengan masyarakat. (Jangkauan ke bawah yang inklusif).
|
Pembangunan alternative yang dirumuskan oleh masyarakat dan
organisasi setempat. (Jangkauan keatas yang integratif).
|
Asumsi normatif
Asumsi deduktif
Asumsi teoritis sebab akibat
Menurut Lund, S, 1990: 178-179
|
Masyarakat miskin harus dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka, seperti
yang ditentuka oleh negara.
Ini mensyaratkan sebelumnya partisipasi dalam program pembangunan. Karena
itu mereka harus dibuat mampu untuk lebih berpartisipasi lagi.
1. Tujuan pembangunan dapat dicapai secara harmonis dan konflik diantara
kelompok-kelompok sosial dapat diredam melalui pola demokrasi setempat.
Karena itu partisipasi masyarakat setempat adalah mungkin.
2. Partisipasi masyarakat berdampak positif terhadap pembangunan.
3. Partisipasi masyarakat merupakan alat efektif untuk
memobilisasi sumber-sumber setempat (manusia dan alam) dengan tujuan
melaksanakan program pembangunan tertentu.
4.a. Kurangnya partisipasi merupakan suatu ekspresi dari ketidakmampuan untuk
berpartisipasi: kurangnya dana, pendidikan dan sumber-sumber lain, serta
tingkat organisasinya rendah.
4.b. Atau bisa juga berarti bahwa rancangan program kurang disesuaikan
pada kebutuhan kelompok sasaran. Dalam hal ini perencanaan dan pelaksanaan prosedur
yang menyimpang, atau teknologi yang tidak tepat. (Hambatan operasional untuk
berpartisipasi). Jadi hal itu menunjukkan perlunya perbaikan pada pendidikan,
teknik, administrasi dan keuangan.
|
Masyarakat miskin harus memperoleh proyek pembangunan yang mereka sendiri
tentukan.
Ini mengandung arti bahwa masyarakat memiliki kemampuan dan hak untuk
menyatakan pikiran serta kehendak mereka.
1. Tujuan pembangunan dapat dicapai secara harmonis dan konflik antara
kelompok-kelompok masyarakat diredam melalui pola demokrasi setempat. Karena
itu partisipasi masyarakat adalah mungkin.
2. Pembangunan menjadi positif bila ada partisipasi masyarakat.
3. Pemberdayaan masyarakat merupakan hal yang mutlak perlu untuk
mendapatkan partisipasinya., karena pemerintah tidak akan mengeluarkan biaya
untuk pembangunan kesejahteraan yang ditetapkan oleh masyarakat, kecuali
masyarakat itu sendiri memiliki kemampuan untuk memaksa pemerintahnya.
4.a. Kurangnya partisipasi masyarakat dalam program pembangunan berarti
penolakan (secara internal di kalangan anggota masyarakat itu dan secara
eksternal terhadap pemerintah, atau pelaksana proyek).
4.b. Atau hal itu menunjukkan adanya struktur sosial yang tidak memungkinkan
masyarakat untuk berpartisipasi. (hambatan struktural untuk berpartisipasi).
Jadi, ini merupakan konflik sosial yang harus diatasi melalui musyawarah
mufakat, kompromi, atas kebijakan yang bertentangan itu atau menghilangkan
struktur yang tidak memungkinkan partisipasi melalui reformasi politik.
|
Siapa yang
Berpartisipasi?
Dalam memahami konsep
partisispasi, maka penting untuk dicermati siapa-siapa anggota masyarakat yang
terlibat, bukan hanya menyebut `penduduk setempat`atau yang bersifat umum
seperti itu. Ini diperlukan untuk memberikan gambaran strategi
partisipatoris dan mengidentifikasikan parameter-parameter yang strategis dan
metodologis.
Parameter-parameter strategis dapat meliputi:
·
Tingkat lokal versus tingkat nasional
·
Negara versus masyarakat
·
Lapisan masyarakat
atas versus yang lemah dan tergusur.
Semua lembaga dan
proyek yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat harus menentukan siapa yang
hendaknya diajak berpartisipasi. Kelompok sasaran atau yang disebut „penerima“
(beneficeries) dalam prakteknya harus dirumuskan ulang, dengan mempertimbangkan
perbedaan kelompok sosial yang diklasifikasikan atas dasar ekonomi, politik,
etnik, agama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, area geografis, mata
pencaharian, kepedulian terhadap isu-isu tertentu dll.
Kedua adalah bahwa
partisipasi hendaknya tidak terbatas pada kelompok sasaran saja, tetapi juga
„para pejabat“ yang terlibat harus juga berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan
yang diarahkan pada upaya melibatkan masyarakat.
Ini berarti bahwa penelitian dan
perencanaan pembangunan harus lebih tepat dan spesifik menentukan strategi
partisipasi mana yang akan mereka analisa dan terapkan bersama dengan
masyarakat setempat sebagai kelompok sasaran.
Lingkup Partisipasi
Menurut Tjuk
Kuswartojo lingkup partisipasi dapat mulai dari tahap menentukan mana yang akan
dituju dan apa yang akan dihasilkan, yang biasanya disebut dengan tahap rumusan
kebijakan dan rencana. Selanjutnya diikuti dengan partisipasi pada tahap
menentukan cara untuk mencapai tujuan dan mempertaruhkan sumber daya agar
tujuan dapat dicapai. Akhirnya partisipasi sampai pada tahap mencapai kesamaan
pandangan tentang bagaimana memantau dan menilai hasilnya. Secara umum dapat
dikatakan bahwa partisipasi dapat dilakukan mulai dari tahap perumusan
kebijakan dan penyusunan rencana, tahap implementasi sampai pada tahap
pemantauan dan evaluasi. Oleh karena itu partisipasi dapat dilakukan pada
setiap tahap dalam dour tata penyelenggaraan kehidupan bersama.
Selanjutnya menurut Gaventa dan Valderrama
(2001) ada Tiga Tradisi Partisipasi yang tercakup dalam lingkup Partisipasi.
Disatu sisi kita mempunyai pendekatan Partisipasi yang berfokus pada masyarakat
atau partisipasi masyarakat, yang biasa terdapat dalam lingkup masyarakat
madani (civil society) atau dimana warga merupakan “penerima”
program pemerintah. Disisi lain ada tradisi dalam partisipasi politik, dimana
warga telah ikut terlibat dalam politik, seperti pemungutan suara, partai
politik dan lobi. Kedua tradisi tersebut akhir-akhir ini semakin banyak
dihubungkan dengan partisipasi sebagai kewargaan.
1. Partisipasi Politik
Keterkaitan orang yang berorientasi pada “mempengaruhi” dan mendudukkan
wakil-wakil rakyat dalam lembaga pemerintahan ketimbang partisipasi aktif dan
langsung dalam proses-proses kepemerintahan itu sendiri. Partisipasi politik lebih dihubungkan dengan demokrasi
politik, perwakilan dan partisipasi tidak langsung. Partisipasi sering
diungkapkan dalam bentuk tindakan perseorangan dan kolektif yang mencakup
pemungutan suara, kampanye, tindakan kelompok dan protes untuk
mempengaruhi wakil-wakil pemerintah.
2. Partisipasi Sosial
Keterlibatan masyarakat terutama dapat dilihat dalam konsultasi atau
pengambilan keputusan pada semua tahapan siklus proyek pembangunan dari
evaluasi kebutuhan sampai penilaian, implementasi, pamantauan dan
evaluasi. Ada beberapa asumsi yang diterima secara umum untuk
mendorong partisipasi sosial:
·
Rakyatlah yang paling tahu kebutuhannya, karena itu rakyat mempunyai hak untuk
mengidentifikasi dan menentukan kebutuhan pembangunan dilokalnya.
·
Partisipasi sosial dapat menjamin kepentingan dan suara kelompok-kelompok
yang selama ini dipinggirkan dalam pembangunan hokum, ekonomi, sosial dan
budaya.
·
Partisipasi sosial dalam pengawasan terhadap proses-proses pembangunan
dapat menjamin tidak terjadinya berbagai penyimpangan, penurunan kualitas dan
kuantitas pembanguan.
3. Partisipasi Kewargaan
Partisipasi warga adalah keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan
pengambilan keputusan diberbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan
mereka. Partisipasi kewargaan mencakup pengkaitan partisipasi dalam lingkup
politik, komunitas dan sosial. Asumsi yang menjadi dasar bagi
meluasnya gaya, seni dan praktek partisipasi warga:
·
Partisipasi merupakan hak politik yang melekat pada warga sebagaimana hak
politik lainnya.
·
Untuk menutupi
kegagalan demokrasi perwakilan.
·
Menjadikan partisipasi lebih bermakna.
·
Partisipasi harus
dilakukan secara terus menerus, bukan kadangkala.
·
Sebagai instrumen untuk mendorong proses good governance.
·
Meningkatkan kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
- Mendorong warga untuk terlibat dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan
kebijakan publik secara langsung.