Wednesday, October 17, 2018

TANGGA PARTISIPASI


Tangga partisipasi akan menggambarkan bentuk dan penjenjangan dari partisipasi masyarakat. Apabila bentuk partisipasi menunjukkan macam aktivitas yang dilakukan oleh partisipan, maka penjenjangan akan menunjukkan tingkat kedalaman aktivitas partisipan. Sherry Arnstein pada tahun 1969 merumuskan tangga partisipasi sebagai indicator tingkat partisipasi dari yang terendah hingga yang tertinggi sebagai berikut:


1.     Manipulasi (manipulation). Pemerintah memberikan informasi, dalam banyak hal berupa informasi dan kepertcayaan yang keliru kepada warga. Dalam beberapa hal pemerintah melakukan mobilisasi warga yang mendukung/dibuat mendukung keputusannya untuk menunjukkan bahwa kebijakannya popular. (bukan bentuk partisipasi).
2.     Penentraman (placation). Pemerintah memberikan informasi dengan tujuan agar warga tidak memberikan perlawanan atas keputusan yang telah ditetapkan, seringkali didukung oleh pengerahan kekuasaan (baik hokum maupun psikologis).
3.     Sosialisasi (informing). Pemerintah memberikan informasi mengenai keputusan yang telah dibuat dan mengajak warga untuk melaksanakan keputusan tersebut.
4.     Konsultasi (consultation). Pemerintah meminta saran dan kritik dari masyarakat sebelum suatu keputusan ditetapkan. (2, 3 dan 4 bentuk lain dari tokenisme).
5.     Kemitraan (partnership). Masyarakat dilibatkan untuk merancang dan mengambil keputusan bersama pemerintah.
6.     Pendelegasian Kekuasaan (deleigated power). Pemerintah mendelegasikan keputusan untuk ditetapkan oleh warga.
7.     Pengawasan oleh Warga (citizen control). Warga memiliki kekuasaan mengawasi secara langsung keputusan yang telah diambil dan menolak keputusan yang bertentangan dengan tujuan yang telah ditetapkan. (5, 6 dan 7 wujud dari kekuasaan dan partisipasi warga).
Dengan pengertian yang hampir sama Pretty (1994) mengajukan adanya 7 tipologi partisipasi untuk menunjukkan bentuk dan tingkat partisipasi masyarakat:

1. Partisipasi
    Pasif



2. Partisipasi  Memberikan Informasi


3. Partisipasi melalui Konsultasi






4. Partisipasi untuk Insentif Materi





5. Partisipasi Fungsional







6. Partisipasi Interaktif







7. Self-mobilisation
Masyarakat berpartisipasi dengan diberitahu apa yang akan berjalan atau telah terjadi. Merupakan pemberitahuan satu arah oleh pengelola administrasi atau pengelola proyek tanpa mendengarkan tanggapan masyarakat. Informasi yang dibagikan hanya milik professional dari luar.
Masyarakat berpartisipasi dengan menjawab pertanyaan yang diajukan peneliti yang menggunakan pendekatan survei kuesioner atau sejenis. Masyarakat tidak memiliki peluang untuk mempengaruhi proses, temuan penelitian tidak dibagikan atau tidak dicek untuk keakuratan.
Masyarakat berpartisipasi dengan menjadi konsultan dan orang luar mendengar untuk memperoleh gambaran. Para professional dari luar menetapkan permasalahan dan jawabannya, dan mungkin memodifikasinya dengan tanggapan ringan dari masyarakat. Proses-proses konsultatif terkait tidak mengakui pembagian dalam pembuatan keputusan, dan para professional tidak memiliki tanggung jawab untuk menempatkan pandangan-pandangan masyarakat.
Masyarakat berpartisipasi dengan menyediakan sumber daya, contohnya tenaga kerja, untuk imbalan seperti makanan, uang atau insentif materi lainnya. Banyak penelitian on-farm jatuh dalam kategori ini, ketika petani menyediakan lahan tetapi mereka tidak terlibat dalam uji coba atau proses pembelajaran. Sangat umum melihat partisipasi jenis ini, sekarang segera masyarakat tidak melanjutkan kegiatan-kegiatan ketika insentif selesai.
Masyarakat berpartisipasi dengan membentuk kelompok  kelompok untuk melaksanakan tujuan-tujuan proyek yang telah ditetapkan sebelumnya, dimana dapat melibatkan organisasi sosial pengembangan atau peningkatan dari luar sebagai penggagas. Keterlibatan cenderung tidak dari tahapan awal siklus proyek atau pada perencanaan, tetapi lebih setelah keputuisan-keputusan utama telah dibuat. Kelembagaan jenis ini cenderung tergantung penggagas dan fasilitator dari luar, tetapi mungkin menjadi mandiri.
Masyarakat berpartisipasi dalam analisis bersama yang mengarah keperencanaan aksi dan pembentukan kelembagaan-kelembagaan lokal baru atau penguatan yang sudah ada. Bentuk ini cenderung melibatkan metodologi-metodoligi lintas ilmu yang melihat beragam perspektif dan menjalankan proses pembelajaran yang sistematis dan terstruktur. Kelompok-kelompok ini akan mengambil alih keputusan-keputusan lokal, dan akibatnya masyarakat akan tetap menjaga struktur-struktur dan praktek-praktek.
Masyarakat berpartisipasi dengan mengambil inisiatif tanpa tergantung lembaga-lembaga luar untuk merubah system. Mereka mengembangkan kontak dengan lembaga-lembaga luar untuk kebutuhan sumber informasi dan praktek, tetapi tetap memelihara pengawasan bagaimana sumber-sumber digunakan. Gerakan mandiri dan aksi bersama mungkin atau mungkin tidak akan menantang keberadaan distribusi kekayaan dan kekuasaan yang tidak adil.

Sedangkan UNDP (1997) menyusun tangga partisipasi mulai dari Manipulöasi, Informasi, Konsultasi, Membangun Konsensus, Pembuatan Keputusan, Berbagi Resiko, Kerjasama dan Mengatur Sendiri.

PRINSIP-PRINSIP PARTISIPASI


Ada bermacam-macam faktor yang mendorong kesadaran orang untuk berpartisipasi, bisa karena kepentingan, bisa karena solidaritas, bisa karena mempunyai tujuan yang sama, bisa juga karena ingin melakukan langkah bersama walaupun tujuannya berbeda. Apapun faktor yang mendorong, partisipasi akhirnya harus membuahkan kesepakatan tentang tujuan yang hendak dicapai dan tindak yang akan dilakukan bersama. Artinya apa yang semula bersifat individual harus secara sukarela diubah dan diolah menjadi tujuan dan kepentingan kolektif. Dalam proses inilah terjadi adu argumen, negosiasi, kompromi untuk kemudian sampai pada kesepakatan. Semangat untuk mencapai konsensus atau kesepakatan harus menjadi landasan partisipasi. Oleh karena itu partisipasi dibangun atas dasar prinsip-prinsip sebagai berikut (Wahyudin Sumpena, 2004:60):
1.     Kebersamaan
Partisipasi tumbuh melalui konsensus dan kesamaan visi, cita-cita, harapan, tujuan dan saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Proses pengaturan yang terjadi dalam masyarakat akan tumbuh melalui kebersamaan rencana, pengorganisasian dan pengendalian program pembangunan.
2.     Tumbuh dari bawah
Partisipasi bukan sesuatu yang dipaksakan dari atas kebawah “top down” atau dikendalikan oleh individu atau kelompok melalui mekanisme kekuasaan. Partisipasi tumbuh berdasarkan kesadaran dan kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat. Prakarsa dan inisiatif muncul dari, oleh dan untuk masyarakat sebagai suatu proses belajar sepanjang hayat. Partisipasi merupakan suatu proses pelembagaan yang bersifat “bottom up”, dimana berbagai pengalaman yang terjadi dijadikan masukan dalam pengembangan program.
3.     Kepercayaan dan Keterbukaan
Kunci sukses partisipasi adalah menumbuhkan dan membangun hubungan atas dasar saling percaya dan keterbukaan. Pengalaman menunjukkan bahwa suatu proses partisipasi bergerak, maka berbagai upaya perbaikan akan terjadi dengan cepat. Partisipasi mendorong hubungan lebih terbuka antara pejabat pemerintah, LSM, swasta dan masyarakat.
Secara lebih lengkap IRE mengembangkan prinsip ideal partisipasi sebagai berikut:
1.     Unsur kesadaran yang lahir dari dalam diri masyarakat secara otentik untuk terlibat dalam proses politik dan pembanguan. Nilai inilah yang membedakan partisipasi dengan mobilisasi atau instruksi.
2.     Penempatan diri masyarakat sebagai subyek kebijakan dan pembangunan, sehingga partisipasi menjadi dapat diukur.
3.     Peran-peran aktif yang sifatnya dialogis sehingga menjamin kesetaraan antar warga masyarakat dan bebas dari prasangka.
4.     Suasana kebersamaan (kolektif) sebagai bentuk jalinan solidaritas sosial.
5.     Pelembagaan dan keberlanjutan (institutionalization and sustainability). Maksudnya terbangunnya kerangka aturan main dan koridor hukum yang disepakati bersama serta memiliki kekuatan dalam memformulasi partisipasi masyarakat, sehingga mempunyai korelasi dengan terbangunnya sistem yang lebih baik.

GOOD GOVERNANCE



Governance diartikan sebagai mekanisme, praktek dan tata cara pemerintah dan warga mengatur sumber daya serta memecahkan masalah-masalah publik. Oleh beberapa penulis Governance dideskripsikan sebagai strategi reformasi yang luas dan  sejumlah prakarsa untuk memperkuat lembaga-lembaga masyarakat madani dengan tujuan membuat pemerintah lebih accountable, lebih terbuka dan transparan serta lebih demokratis. Bagi penulis lain governance mewakili perubahan dalam makna pemerintah, dengan mengacu pada proses baru memerintah; atau keadaan berubah dari kekuasaan terpimpin; atau metode baru untuk memerintah masyarakat.
Ada 6 ciri-ciri good governance yang dikeluarkan oleh UNDP:
a.       Mengikutsertakan semua
b.      Transparan dan bertanggung jawab
c.       Efektif dan adil
d.      Mempromosikan adanya supremasi hukum
e.       Memastikan bahwa prioritas politik, sosial dan ekonomi didasarkan pada konsensus masyarakat
f.       Memperhatikan kepentingan mereka yang paling miskin dan lemah dalam proses pengambilan keputusan menyangkut alokasi sumber daya pembangunan.
Sedangkan ADB mengartikulasikannya dalam empat elemen pokok good governance, yaitu accountability, participation, predictability dan transparency.
Dalam konsep Governance, pemerintah hanya menjadi salah satu aktor dan tidak selalu menjadi aktor paling menentukan. Governance telah membuka ruang terjadinya perubahan hubungan antara pemerintah dengan warganya. Dia menuntut redefinisi peran pemerintah dan juga peran warga.
Hubungan seperti apa yang akan dibangun antara warga dan pemerintah untuk menjamin tercapainya good governance?
Hubungan yang demokratis artinya proses pengambilan keputusan yang bersifat hirarkis berubah menjadi pengambilan keputusan dengan andil seluruh stakeholder.
Aspek partisipasi dalam governance menuntut adanya hubungan (dalam arti kemitraan) langsung antara pemerintah dengan warganya. Untuk itu governance yang baik hanya dapat tercipta apabila dua kekuatan saling mendukung, warga yang bertanggung jawab, aktif dan memiliki kesadaran, bersama dengan pemerintah yang terbuka, tanggap, mau mendengar dan mau melibatkan.
Keterlibatan atau partisipasi setiap stakeholder memiliki kontribusi untuk membentuk governance yang baik. Ada tiga stakeholder utama dalam governance yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing, yaitu state (Negara atau pemerintah), private sector (sektor swasta/dunia usaha) dan society (masyarakat). Institusi pemerintah berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor swasta menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan masyarakat berperan dalam membangun interaksi social, ekonomi dan politik. Hubungan ketiga stakeholder utama tersebut merupakan hubungan yang bersifat kemitraan (partnership) yaitu hubungan kerjasama atas dasar kepercayaan, kesetaraan dan kemandirian untuk mencapai tujuan bersama.

KONSEP DAN LINGKUP PARTISIPASI MASYARAKAT

Konsep Partisipasi
Kata Partisipasi diartikan dengan “keikutsertaan”, “Keterlibatan” dan “Pembagian Peran”. Kata ini banyak digunakan oleh masyarakat, akademisi, pemerintahan, LSM, jurnalis, politikus dan pelatih dengan maksud yang berbeda.  Partisipasi merupakan konsep yang kompleks dan seringkali diinterpretasikan berbeda-beda. Untuk memperoleh gambaran secara lebih jelas, maka disini akan diuraikan tentang konsep partisipasi masyarakat.
Konsep partisipasi seharusnya berbasis pada kesadaran individu untuk bertindak. Kata kesadaran mengacu pada proses internal individu sebelum akhirnya ia memutuskan untuk melakukan tindakan (ia mengalami proses transformasi dari individu menjadi palaku/subyek). Sementara tindakan menandakan bahwa ketika tindakan itu dilakukan sebenarnya individu tersebut telah menaruh “makna subyektif” pada “tindakan” itu (yang dapat memuat aneka motif, kepentingan, nilai, ideas, endapan tradisi, impuls emosi dsb).
Kalau dilihat istilahnya, maka partisipasi mengacu pada posisi pelaku sebagai part yang artinya bagian/ambil bagian atau sebagai partner yang berarti mitra. Pemahaman yang pertama yang mengkaitkan partisipasi dengan kata part menempatkan partisipasi pada posisi pelaku sekedar ambil bagian atau sekedar berperanserta dan lebih cenderung pada posisi pinggiran atau marjinal. Dengan demikian Partisipasi lantas hanya sebagai padankata dari ikut serta atau peranserta, yang pada proses terbentuknya tindakan tersebut tidak diawali adanya proses internal kesadaran yang menumbuhkan dorongan untuk berprakarsa atau berinisiatif atau mengawali suatu tindakan (bersama). Prakarsa dilakukan pihak lain, kemudian warga diikutsertakan saja.
Sedangkan pemahaman yang kedua mengkaitkan partisipasi dengan kata partner yang dapat ditafsirkan lebih bermakna: (1) ada inisiatif untuk melakukan tindakan oleh subyek, (2) mempunyai kesetaraan atau kesederajadan posisi dalam melakukan tindakan bersama orang lain, (3) masing-masing pihak bersedia dan siap menanggung konsekwensi bersama dari tindakan yang sama-sama dilakukan tersebut, (4) masing-masing pihak mempunyai makna subyektif yang sama atau mirip dalam menentukan dan melakukan tindakan bersama tersebut, dan (5) tindakan yang sama-sama dipilih tersebut telah diproses dalam ruang kesadaran sehingga tindakan itu memang sesuatu yang dikehendaki untuk dilakukan.
Dari pemahaman kedua ini dapat dibedakan makna kata partisipasi dari mobilisasi Kata mobilisasi menunjuk pada tindakan yang ditentukan dan didorong oleh factor eksternal individu. Oleh sebab itu ketika individu berubah menjadi pelaku dalam sebuah tindakan, maka tindakan itu tidak muncul melalui proses internal didalam kesadaran individual. Konsekuensinya makna tindakan oleh pelaku menjadi tidak sedalam pada kata partisipasi, kesetiaan pelaku terhadap tindakan tidak seteguh pada kata partisipasi (Suryo Adi P, 2004).
Konsep partisipasi ini dalam berbagai kesempatan digunakan sedemikian luas bahkan memiliki arti yang berbeda untuk orang-orang yang berbeda. Partisipasi ini digunakan untuk pembangunan kapasitas dan kepercayaan diri masyarakat lokal, tetapi juga untuk membenarkan penyuluhan di bawah kontrol pemerintah. Demikian beragamnya arti partisipasi dalam berbagai kesempatan tersebut FAO menafsirkan arti kata partisipasi sebagai berikut.
·         Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan.
·         Partisipasi adalah “pemekaan” (membuat peka) pihak masyarakat untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek-proyek pembangunan.
·         Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok      yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu.
·         Partisipasi adalah pemantapan dialog diantara masyarakat setempat dengan para staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, aagar supaya memperoleh informasi mengenai konteks local. Dan dampak-dampak social.
·         Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri.
·         Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan, dan lingkungan mereka.
Oleh sebagian pakar partisipasi didefinisikan sebagai keterlibatan mental dan emosional seseorang dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk ikut serta menyumbangkan kemampuan dalam mencapai tujuan kelompok dan ikut bertanggung jawab atas tujuan kelompok tersebut (Suparjan dan Hempri S, 2003).
Partisipasi dimaknai juga sebagai keterlibatan rakyat dalam proses pembuatan keputusan, dalam pelaksanaan program, andil mereka dalam manfaat program pembangunan dan keterlibatan mereka dalam usaha mengevaluasinya. Partisipasi berkaitan dengan usaha terorganisir untuk meningkatkan kontrol atas sumber daya  dan institusi regulasi dalam situasi sosial tertentu. Partisipasi juga merupakan bentuk kemitraan yang dialogis diantara berbagai pelaku (stakeholders) dalam mempengaruhi dan membagi kontrol atas prakarsa pembangunan dan keputusan dan sumber daya yang mempengaruhinya (IRE, 2003).
Sementara itu ditemukan juga penggunaan partisipasi yang berkisar pada partisipasi sebagai tujuan pada dirinya sendiri atau partisipasi sebagai alat untuk mengembangkan diri. Sebagai sebuah tujuan, partisipasi menghasilkan pemberdayaan, yakni setiap orang berhak menyatakan pendapat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupannya. Sebagai alat, partisipasi  ditafsirkan sebagai alat untuk mencapai efisiensi dalam manajemen proyek, sebagai alat dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan. Partisipasi dalam konteks ini berhubungan dengan dua hal penting:
·         Hubungan struktural serta pentingnya pengembangan kapasitas dan keahlian masyarakat untuk bernegosiasi dan mencari sumber daya yang mereka perlukan dalam memperbaiki hidup mereka.
·         Metode dan Teknik dimana masyarakat dapat dibawa untuk memainkan peranan dan mengembangkan kontribusi dalam program pembangunan.
Kedua pengertian tersebut mewakili partisipasi yang bersifat transformasional dan instrumentalPartisipasi transformasional terjadi ketika partisipasi itu pada dirinya sendiri dipandang sebagai tujuan, dan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi lagi, misalnya menjadi swadaya dan dapat berkelanjutan. Sedangkan partisipasi instrumental terjadi ketika partisipasi dilihat sebagai suatu cara untuk mencapai sasaran tertentu, misalnya partisipasi masyarakat setempat dalam proyek-proyek yang dilakukan oleh orang-orang luar.
Dalam kenyataan, kedua pokok pikiran mengenai partisipasi itu sering hadir pada saat yang sama namun status dan strateginya serta pendekatan metodologinya berbeda, yang dapat dilihat dalam bagan sebagai berikut:

Dua Model Logika yang Mendasari StrategiPartisipatoris
Strategi
“Efisiensi”
Pembangunan melalui kemitraan `Top Down` dengan   masyarakat. (Jangkauan ke bawah yang inklusif).
Pembangunan alternative yang   dirumuskan oleh masyarakat dan organisasi setempat. (Jangkauan keatas yang integratif).

Asumsi normatif




Asumsi deduktif







Asumsi teoritis sebab akibat
































Menurut Lund, S, 1990: 178-179

Masyarakat miskin harus dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka, seperti yang ditentuka oleh negara.

Ini mensyaratkan sebelumnya partisipasi dalam program pembangunan. Karena itu mereka harus dibuat mampu untuk lebih berpartisipasi lagi.

1. Tujuan pembangunan dapat dicapai secara harmonis dan konflik diantara kelompok-kelompok sosial dapat diredam melalui pola demokrasi setempat. Karena itu partisipasi masyarakat setempat adalah mungkin.

2. Partisipasi masyarakat berdampak positif terhadap pembangunan.

3. Partisipasi masyarakat  merupakan alat efektif untuk memobilisasi sumber-sumber setempat (manusia dan alam) dengan tujuan melaksanakan program pembangunan tertentu.

4.a. Kurangnya partisipasi merupakan suatu ekspresi dari ketidakmampuan untuk berpartisipasi: kurangnya dana, pendidikan dan sumber-sumber lain, serta tingkat organisasinya rendah.


4.b. Atau bisa juga berarti bahwa rancangan program kurang disesuaikan pada kebutuhan kelompok sasaran.  Dalam hal ini perencanaan dan pelaksanaan prosedur yang menyimpang, atau teknologi yang tidak tepat. (Hambatan operasional untuk berpartisipasi). Jadi hal itu menunjukkan perlunya perbaikan pada pendidikan, teknik, administrasi dan keuangan.

Masyarakat miskin harus memperoleh proyek pembangunan yang mereka sendiri tentukan.

Ini mengandung arti bahwa masyarakat memiliki kemampuan dan hak untuk menyatakan pikiran serta kehendak mereka.



1. Tujuan pembangunan dapat dicapai secara harmonis dan konflik antara kelompok-kelompok masyarakat diredam melalui pola demokrasi setempat. Karena itu partisipasi masyarakat adalah mungkin.


2. Pembangunan menjadi positif bila ada partisipasi masyarakat.

3. Pemberdayaan masyarakat merupakan hal yang mutlak perlu untuk mendapatkan partisipasinya., karena pemerintah tidak akan mengeluarkan biaya untuk pembangunan kesejahteraan yang ditetapkan oleh masyarakat, kecuali masyarakat itu sendiri memiliki kemampuan untuk memaksa pemerintahnya.

4.a. Kurangnya partisipasi masyarakat dalam program pembangunan berarti penolakan (secara internal di kalangan anggota masyarakat itu dan secara eksternal terhadap pemerintah, atau pelaksana proyek).

4.b. Atau hal itu menunjukkan adanya struktur sosial yang tidak memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi. (hambatan struktural untuk berpartisipasi). Jadi, ini merupakan konflik sosial yang harus diatasi melalui musyawarah mufakat, kompromi, atas kebijakan yang bertentangan itu atau menghilangkan struktur yang tidak memungkinkan partisipasi melalui reformasi politik.


Siapa yang Berpartisipasi?
Dalam memahami konsep partisispasi, maka penting untuk dicermati siapa-siapa anggota masyarakat yang terlibat, bukan hanya menyebut `penduduk setempat`atau yang bersifat umum seperti itu.  Ini diperlukan untuk memberikan gambaran  strategi partisipatoris dan mengidentifikasikan parameter-parameter yang strategis dan metodologis.
Parameter-parameter strategis dapat meliputi:
·         Tingkat lokal versus tingkat nasional
·         Negara versus masyarakat
·         Lapisan masyarakat atas versus yang lemah dan tergusur.
Semua lembaga dan proyek yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat harus menentukan siapa yang hendaknya diajak berpartisipasi. Kelompok sasaran atau yang disebut „penerima“ (beneficeries) dalam prakteknya harus dirumuskan ulang, dengan mempertimbangkan perbedaan kelompok sosial yang diklasifikasikan atas dasar ekonomi, politik, etnik, agama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, area geografis, mata pencaharian, kepedulian terhadap isu-isu tertentu dll.
Kedua adalah bahwa partisipasi hendaknya tidak terbatas pada kelompok sasaran saja, tetapi juga „para pejabat“ yang terlibat harus juga berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang diarahkan  pada upaya melibatkan masyarakat.
Ini berarti bahwa penelitian dan perencanaan pembangunan harus lebih tepat dan spesifik menentukan strategi partisipasi mana yang akan mereka analisa dan terapkan bersama dengan masyarakat setempat sebagai kelompok sasaran.

Lingkup Partisipasi
Menurut Tjuk Kuswartojo lingkup partisipasi dapat mulai dari tahap menentukan mana yang akan dituju dan apa yang akan dihasilkan, yang biasanya disebut dengan tahap rumusan kebijakan dan rencana. Selanjutnya diikuti dengan partisipasi pada tahap menentukan cara untuk mencapai tujuan dan mempertaruhkan sumber daya agar tujuan dapat dicapai. Akhirnya partisipasi sampai pada tahap mencapai kesamaan pandangan tentang bagaimana memantau dan menilai hasilnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa partisipasi dapat dilakukan mulai dari tahap perumusan kebijakan dan penyusunan rencana, tahap implementasi sampai pada tahap pemantauan dan evaluasi. Oleh karena itu partisipasi dapat dilakukan pada setiap tahap dalam dour tata penyelenggaraan kehidupan bersama.
Selanjutnya menurut Gaventa dan Valderrama (2001) ada Tiga Tradisi Partisipasi yang tercakup dalam lingkup Partisipasi. Disatu sisi kita mempunyai pendekatan Partisipasi yang berfokus pada masyarakat atau partisipasi masyarakat, yang biasa terdapat dalam lingkup masyarakat madani (civil society)  atau dimana warga merupakan “penerima” program pemerintah. Disisi lain ada tradisi dalam partisipasi politik, dimana warga telah ikut terlibat dalam politik, seperti pemungutan suara, partai politik dan lobi. Kedua tradisi tersebut akhir-akhir ini semakin banyak dihubungkan dengan partisipasi sebagai kewargaan.
1.      Partisipasi Politik
Keterkaitan orang yang berorientasi pada “mempengaruhi” dan mendudukkan wakil-wakil rakyat dalam lembaga pemerintahan ketimbang partisipasi aktif dan langsung dalam proses-proses kepemerintahan itu sendiri. Partisipasi politik lebih dihubungkan dengan demokrasi politik, perwakilan dan partisipasi tidak langsung. Partisipasi sering diungkapkan dalam bentuk tindakan perseorangan  dan kolektif yang mencakup pemungutan suara, kampanye, tindakan kelompok  dan protes untuk mempengaruhi wakil-wakil pemerintah.
2.      Partisipasi Sosial
Keterlibatan masyarakat terutama dapat dilihat dalam konsultasi atau pengambilan keputusan pada semua tahapan siklus proyek pembangunan dari evaluasi kebutuhan sampai penilaian, implementasi, pamantauan dan evaluasi. Ada beberapa asumsi yang diterima secara umum untuk mendorong partisipasi sosial:
·         Rakyatlah yang paling tahu kebutuhannya, karena itu rakyat mempunyai hak untuk mengidentifikasi dan menentukan kebutuhan pembangunan dilokalnya.
·         Partisipasi sosial dapat menjamin kepentingan dan suara kelompok-kelompok yang selama ini dipinggirkan dalam pembangunan hokum, ekonomi, sosial dan budaya.
·         Partisipasi sosial dalam pengawasan terhadap proses-proses pembangunan dapat menjamin tidak terjadinya berbagai penyimpangan, penurunan kualitas dan kuantitas pembanguan.
3.      Partisipasi Kewargaan
Partisipasi warga adalah keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan diberbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan mereka. Partisipasi kewargaan mencakup pengkaitan partisipasi dalam lingkup politik, komunitas dan sosial. Asumsi yang menjadi dasar bagi meluasnya gaya, seni dan praktek partisipasi warga:
·         Partisipasi merupakan hak politik yang melekat pada warga sebagaimana hak politik lainnya.
·         Untuk menutupi kegagalan demokrasi perwakilan.
·         Menjadikan partisipasi lebih bermakna.
·         Partisipasi harus dilakukan secara terus menerus, bukan kadangkala.
·         Sebagai instrumen untuk mendorong proses good governance.
·         Meningkatkan kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
  •  Mendorong warga untuk terlibat dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan publik secara langsung.